Langsung ke konten utama

Menakar Keresahan: Di Balik Sarasehan Akbar KTP




Woks

Tepat satu Mei kita memang tidak memperingati hari buruh (May Day) tapi lebih kepada duduk bersama dalam sebuah majelis kerinduan. Saya menyebutnya sarasehan padahal aslinya forling alias forum diskusi keliling. Kali ini tema-nya masih tetap sama yaitu keresahan mengapa masuk jurusan Tasawuf Psikoterapi ini.

Bagi saya pribadi keresahan itu wajar saja karena setiap orang akan melewatinya. Alhamdulillah saya sudah melewati itu semua termasuk ketika ada pertanyaan miring seputar jurusan ini. Kata salah seorang peserta bagaimana kita bisa menjawab pertanyaan dari seseorang atau apakah ada pernyataan khusus agar bisa membungkam mereka. Beberapa di antara kawan yang lain mencoba menjawabnya termasuk saya. Tapi secara jujur soal pertanyaan itu sudah final karena saya sudah terbiasa.

Ketika ada yang berkata bahwa jurusan ini outputnya adalah dukun bagi saya tidak mungkin selama kawan-kawan mengkaji sesuatu hal yang rasional. Jika kawan-kawan tidak concern di bidang sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal yang transendental maka hal itu tak akan terjadi. Bukankah stigma dukun itu awalnya karena fashion salah seorang teman dan kita yang kadang kala selalu menebak-nebak sesuatu bukan berdasar teori. Selanjutnya karena memang masyarakat yang belum memahami lebih jauh dengan jurusan ini. Selanjutnya jika ada pernyataan miring jawab saja dengan guyonan, anggap semua itu hanya sebuah cara agar kita menjadi akrab. Mungkin bisa jadi itu tanda bahwa jurusan ini memang unik dan menarik orang lain untuk komentar.

Menurut saya agar kita tetap teguh dengan serangan pertanyaan itu kuncinya adalah perbaiki khualitas diri baik secara personal maupun keilmuan. Fungsi secara personal tentu soal etika alias adab yang diaplikasikan berdasarkan keilmuan yang telah didapat sedangkan keilmuan adalah ruh kedua dalam rangka menjelaskan kepada masyarakat. Perbedaan kita dan masyarakat tentu di bidang akademiknya, di sana kita bisa mewarnai hal-hal yang belum diketahui oleh masyarakat. Jika masyarakat sudah memahami masalah maka kita akan mudah dalam meyakinkan mereka.

Dalam psikologi resah itu adalah bawaan pikiran. Akan tetapi jika kita tahu bahwa resah itu adalah rasa yang jika dinikmati akan menjadi sebuah pandangan lebih dalam. Kita tahu awal menari sufi tentu akan pusing, banyak orang yang gagal akan tetapi lambat laun semua akan terbiasa. Kebiasaan itulah yang menjadikan sang penari lebih mengetahui secara dalam hikmah di balik setiap musibah termasuk rasa resah.

Bagi saya jurusan ini setidaknya telah memberi ruang luas untuk berpikir maju. Selanjutnya saya juga diajari agar menjadi manusia yang tidak munafik. Melalui kedua jurusan yang berbeda itu kita justru semakin kaya dan lebih lagi dapat membaca tabiat orang lain. Tidak hanya itu kita juga diajari bagaimana bermanfaat bagi orang lain termasuk bagaimana menjadi pelayan yang baik bagi masyarakat. Bagi saya jika tujuan masuk jurusan ini hanya sekadar prestise atau pekerjaan maka mulai dari awal segeralah keluar karena jurusan ini tidak menyediakan lapangan pekerjaan berupa hal-hal yang praksis melainkan sebuah proses kehidupan yang lebih luas lagi. 

Seharusnya kawan-kawan segera sadar bahwa jurusan ini membuka jalan kita untuk kreatif, inovatif dan menikmati proses. Perlu diingat ajaran yang ada di jurusan ini adalah tentang kehidupan bukan pekerjaan. Jadi jika masih ragu atau terpengaruh karena omongan orang itu tanda bahwa iman intelektual kita masih lemah. Maka dari itu terus kuatkan diri dengan ilmu dan hiasi diri dengan akhlak keduanya adalah kunci agar kita percaya diri menatap masa depan. Jika "tersesat" adalah frasa yang dianggap negatif itu salah besar bahwa sesungguhnya awal dari menemukan adalah tersesat. Sudah banyak contohnya sejak dari Nabi Ibrahim as, Imam Ghazali hingga Ulil Abshar Abdalla mereka adalah produk tersesat yang pada akhirnya menemukan muara hidupnya. Mungkin kita pun sama, akan berakhir demikian.
*Siapa kita? KTP

the woks Institute l rumah peradaban 2/4/5/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde