Langsung ke konten utama

Pandemi dan Politik Ekonomi


Sumber foto: Jatimnow.com


Woks

Sudah 2 tahun lamanya kita masih berada di atas geladak kapal pandemi, terombang-ambing dan tak tau arah, hidup tak menentu serta penuh adaptasi dalam menghadapi hal-hal yang baru. Keadaan ini memang penuh dengan keluhan walaupun rasa syukur seharusnya menjadi panglima terdepan. Akan tetapi kondisi saat ini justru melahirkan segala macam spekulasi utamanya yang berbau kritik terhadap mereka para pengambilan keputusan.

Kita meyakini bahwa pandemi ini masih ada dan entah hingga kapan berakhirnya. Akan tetapi hal yang membuat kita skeptis ialah terhadap sesuatu yang ada di belakangnya yaitu pandemi dan sisi lain dalam lingkaran politik. Jika membaca keadaan pandemi selama 2 tahun ini kita telah melewati berbagai hal yang menyedihkan utamanya soal bobroknya kalangan pengampu kebijakan mulai dari korupsi bantuan sosial, kebijakan yang tidak merata, mafia alat kesehatan hingga alat kesehatan palsu serta kepentingan lain yang mencengkram di belakangnya.

Miris memang jika kita amati sekilas bahkan orang dengan pendidikan rendahpun mampu beropini bahwa pandemi dimanfaatkan oleh sebagian kelompok untuk meraup keuntungan. Di sana kita membaca banyak ironi yang terjadi bahwa semua hal yang ada di dalam regulasi ujungnya hanyalah soal uang. Kasus korupsi bansos misalnya yang dilakukan oleh mentri sosial Juliari Batubara adalah praktek bahagia di atas derita orang. Bayangkan saja jutaan orang Indonesia terkena dampak pandemi dan seharusnya mendapat bantuan justru bantuan itu malah dipangkas lalu masuk rekening pribadi.

Praktek kotor tersebut tentu tidak hanya perorangan akan tetapi berkelompok istilahnya "bancakan proyek". Mereka percis seperti hewan buas yang kelaparan padahal kata M. Husnaini (Editor) di beranda Facebooknya menuliskan bahwa "monyet itu berebut makanan ketika merasa lapar, tapi manusia tega merampas hak-hak sesama justru dalam kondisi kenyang dan kaya". Jika demikian sampai kapanpun bangsa ini tak bisa keluar dari jerat musuh bersama yaitu oknum culas yang memanfaatkan keadaan.

Kebijakan terkait pelarangan mudik dan pemberlakuan PPKM Mikro atau PSBB antar wilayah yang tujuannya memutus mata rantai Covid-19 justru malah menimbulkan banyak pro kontra di tengah masyarakat karena tidak meratanya kebijakan. Peraturan tersebut seolah hanya formalitas belaka sehingga di satu sisi masyarakat kita ngeyel dan melanggar. Kondisi itulah yang oleh sebagian orang dipandang sebagai chaos karena sejatinya hanya soal pemulihan ekonomi. Bayangkan hingga saat ini tempat pariwisata, mall, dan tempat umum lainya begitu riuh oleh banyak orang sedangkan sekolah, masjid dan majelis ta'lim masih sukar untuk beroperasi.

Seharusnya pemerintah mengkaji dengan seksama bahwa ditingkat bawah atau dengan di daerah kota keadaan sangat berbeda. Sehingga kebijakan tidak bisa tebang pilih untuk semaunya diberlakukan. Pemerintah juga perlu transparan dengan keadaan yang sebenarnya utamanya soal vaksinasi, pengadaan bantuan dan peraturan lainya. Jika pemerintah tidak berupaya menjelaskan kondisi yang ada maka selama itu pula masyarakat akan melanggengkan sikap mosi tidak percaya kepada pemerintah.

Kondisi demikianlah yang membuat masyarakat selalu bersikap buruk terhadap pemerintah karena fakta di lapangan memang demikian adanya ditambah lagi dengan adanya media sosial memperkeruh keadaan. Maka dari itu perlunya saling kerjasama antar satu sama lainya dengan pikiran yang logis dan kemanusiaan. Selama ini kita masih salah paham utamanya soal kebijakan pemerintah di masa pandemi ini. Semoga pandemi segera berlalu dan kita bisa mengevaluasi diri sejatinya baik pemerintah maupun rakyat semua punya porsi kesalahan masing-masing yang perlu diperbaiki.

the woks Institute l rumah peradaban 20/5/21






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde