Langsung ke konten utama

Berbagi Kebahagiaan di Panti Asuhan




Woko Utoro

Beberapa hari lalu saya diajak Mas Roni untuk mengisi di Panti Asuhan (LKSA) Aisyiyah Sembung Tulungagung. Kebetulan Mas Roni juga dimintai menggantikan Mas Novel karena ada aktivitas lain. Dari itu akhirnya kami pun bersedia untuk berbagi ke sana.

Waktu yang cukup padat dan kegiatan yang mendadak kami pun sedikit kewalahan. Tapi akhirnya kami bisa mengkondisikan untuk acara esok hari. Tepat di hari Minggu setelah semalam kami mempersiapkan materi akhirnya tiba juga di sana.

Tapi ada yang unik yaitu ketika kami ke sana ternyata panitia tidak lebih dulu dari narasumber. Akhirnya kami pun balik lagi bukan karena ingin pulang melainkan mencari kamar mandi. Pada saat itu Mas Roni kebelet dan seperti selepas makan pedas. Kami pun mencari masjid terdekat dan langsung nongkrong di sana. Saya sih sempat pesan kata seorang guru jika mampir di masjid jangan sekadar nongkrong tetapi melakukan aktivitas ibadah misalnya shalat tahiyatul masjid atau dhuha. Jadi supaya ada bedanya antara tempat ibadah dan pom.

Ketika kami dikabari acara segera dimulai langsung saja kami meluncur ke TKP. Di sana acara langsung dimulai yaitu pembukaan, qiroah Qur'an, nyanyi lagu Indonesia Raya dan acara inti serta doa. Di acara inti saya meminta Mas Roni untuk tampil terlebih dahulu baru setelah itu saya.

Kami sempat bingung karena akan diisi materi apa. Sebab materi literasi akan sukar dipahami anak-anak dengan beragam usia tersebut. Akhirnya kami menemukan ide yaitu ice breaking saja. Kami menyampaikan materi tentang pentingnya membaca dan menulis buku. Sekaligus tak lupa nyanyi dan tepuk juga kami sajikan di sesi tersebut.

Di sesi inti kami lebih mirip badut menghibur daripada narasumber yang menyampaikan materi. Akan tetapi walaupun begitu kami senang dan para peserta juga terhibur. Apalagi setelah itu panitia memberikan bingkisan berupa santunan dan hadiah.

Setelah acara tersebut usai kami pun langsung pamit undur diri. Intinya di sana kami memberikan motivasi kepada anak-anak untuk terus semangat berkarya. Bahwa setiap kesuksesan sudah ada jatahnya termasuk buat mereka. Kami pun pamit dan diakhiri foto bersama.[]

the woks institute l rumah peradaban 5/9/24









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde