Langsung ke konten utama

Meriahnya Bazar Kemerdekaan Desa Plosokandang 2024




Woko Utoro

Tiap tahun Desa Plosokandang tak pernah absen membuat acara keren salah satunya bazar rakyat. Setelah beberapa waktu lalu sukses dengan karnaval kini bazar pun tak kalah meriahnya. Semua acara tersebut masih dalam satu paket yaitu peringatan 79 tahun kemerdekaan RI. 

Yang membedakan bazar tahun ini dan tahun lalu adalah posisi panggung utama yang menghadap ke timur. Sedangkan tahun lalu menghadap ke selatan. Adapun tampilan, kreasi dan sajian stand bazar tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Akan tetapi ketika kita datang ke sana suasana khas sudah terasa. Apalagi ketika berkunjung ke stand makanan tradisional. Suasananya terasa begitu tempo dulu. 

Yang unik tentu kreasi stand bazar dengan segala hiasannya. Mereka benar-benar telah mempersiapkan sejak lama. Misalnya ada yang membuat dari anyaman bambu hingga bentuk miniatur khas kemerdekaan. Para pedagang pun tak mau kalah ada yang menjual pernak-pernik wayang hingga segala jenis makanan sea food. 

Kebetulan saya dan teman berkunjung ke acara bazar tersebut saat penutupan. Di awal dan hari kedua saya tidak mengikuti karena memang awalnya tidak berniat datang. Akan tetapi di hari terakhir saya memberanikan diri untuk datang. Memang sejak dulu saya kurang nyaman dengan keramaian. Bagi saya keramaian justru kesepian dan sebaliknya. Akhirnya harus ada niat tertentu yang bisa membujuk saya hadir dalam momen tersebut. 

Kebetulan malam tersebut saya berkunjung ke bazar atas dasar mencari cenil dan gethuk. Sehingga ketika seorang teman mengajak langsung saja gayung bersambut. Kami pun akhirnya berangkat dengan motor dan alhamdulillah parkirnya gratis. Karena juru parkirnya tetangga sendiri. Hingga akhirnya kami menikmati malam tersebut sambil mendengarkan lagu serta pengumuman pemenang lomba-lomba. 

Saat malam itu juga suasana makin meriah dengan banyaknya hadiah yang dilemparkan dari atas panggung untuk pengunjung. Selain itu gemerlap cahaya lampu dan riuh suara petasan juga bertalu-talu. Di tambah lagi sorak-sorai pengunjung meneriakan nama dusunnya ketika disebut menjadi pemenang. Semoga saja pagelaran seperti ini kapan-kapan tidak hanya tontonan atau ajang kekompakan, silaturahmi tapi menjadi tuntutan. []

The Woks Institute rumah peradaban 13/9/24









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde