Langsung ke konten utama

Ujian Orang Menimba Ilmu




Woko Utoro

Dalam pengajian Kitab Ta'lim Muta'alim Abah Sholeh menyampaikan fasal tentang kesungguhan dan kemantapan bercita-cita luhur. Walaupun fasal tersebut sudah bolak-balik dijelaskan atau bahkan kitab karya Syeikh Jarnuzi juga sudah sering khatam tapi selalu banyak hal yang baru saya ketahui. Mungkin itulah keistimewaan ilmu walaupun ribuan kali didengar tapi selalu ada hikmah baru yang terselip. 

Dalam fasal ke 5 tersebut beliau menjelaskan bahwa ujian orang menimba ilmu itu berat di antaranya : istikamah. Anda pasti tahu orang istikamah itu hadiah nya bukan hewan ternak, makanan enak atau kendaraan tapi kemuliaan. Karena memang istikamah itu lebih utama daripada keramat. Pantaslah jika orang ingin berhasil maka kunci utamanya adalah bersungguh-sungguh dan kontinu alias istikamah. 

Sesuai keterangan dalam Kitab Ta'lim Muta'alim beliau juga menjelaskan syair Imam Syafi'i bahwa ujian orang menimba ilmu harus rekasa alias bersusah-payah dan prihatin. Serupa rumus bahwa susah-payah adalah jalan yang harus ditempuh untuk merengkuh keberhasilan. Sedangkan untuk menyikapi susah-payah tersebut adalah dengan laku prihatin. Jadi susah-payah dan prihatin adalah satu paket yang harus dilalui para santri. 

Ujian selanjutnya bagi penimba ilmu adalah diperlihatkan oleh Allah bahwa kadang orang bodoh justru lebih berhasil. Di sanalah kadang setan bekerja memberi was-was agar penimba ilmu mengira jika ilmunya tidak berguna. Atau bahkan usahanya hingga hari ini adalah sebuah kesiaan. Bahkan lebih ekstrim lagi kadang orang berilmu justru lebih sulit dalam hal mencari harta. Bahkan kadang justru orang menimba ilmu itu hidupnya pas-pasan. 

Jika ia menjadi tokoh agama misalnya di sebuah desa kadang justru diremehkan cuma karena tidak kaya harta. Walaupun faktanya tokoh tersebut seorang yang alim. Dalam hukum sosial terkadang demikian bahwa orang selalu buta untuk menilai akan arti proses dan perjuangan. Masyarakat hanya akan menilai sesuatu yang materi, bersifat instan dan terlihat mata. 

Ujian selanjutnya adalah panjang angan-angan. Angan-angan di sini kadang menyuguhkan dua kemungkinan di antara kegagalan dan keberhasilan. Yang sering muncul adalah angan-angan kenikmatan misalnya seorang teman sudah kaya, menikah, bahagia punya anak dlldll sedangkan kita masih sunyi di bangku pembelajaran. Dari itu akhirnya terlena bahwa kebahagiaan harus diusahakan bukan sekadar angan-angan. Termasuk dalam mencari harta pun orang harus masyaqot (susah payah). Kata Abah Sholeh mengapa orang perlu masyaqot? Karena agar mereka selalu berharap hanya kepada Allah SWT. Tak ada hal apapun kecuali berharap hanya kepadaNya. []

The Woks Institute rumah peradaban 22/9/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde