Langsung ke konten utama

Legacy 3




Woko Utoro

Setiap orang setuju jika harta benda adalah warisan berharga. Tidak salah. Tapi tidak sedikit pula warisan harta benda membuat seseorang terlena. Ada banyak kasus di mana orang saling menggugat jika di hadapkan dengan perkara ini. Bahkan lebih ironis lagi seorang anak rela memperkarakan orang tuanya akibat rebutan harta warisan.

Sejak dulu jika bicara harta benda memang selalu tak berkesudahan. Berbeda dengan ilmu dan akhlak. Nampaknya sejak awal kita sering keliru jika ilmu, relasi pertemanan atau hubungan yang baik juga merupakan rezeki. Sehingga warisan itu tidak melulu soal uang.

Nampaknya sejak awal perdebatan kita tak akan berujung jika membenturkan ilmu dan harta. Orang pasti setuju bahwa untuk mendapatkan harta tentu harus punya ilmu. Begitu pula orang berilmu pasti membutuhkan harta. Jadi intinya bukan mana lebih dulu atau mana lebih utama. Tapi lebih tepatnya mana yang mampu menuntun pada arti sejahtera hingga bahagia.

Ada orang tak berharta tapi kaya ilmu hingga dia bahagia. Ada juga orang berilmu sedikit tapi kaya harta dengan hartanya ia dermawan. Tentu banyak hal yang dapat kita jumpai. Yang jelas titik temu bertumpu pada mindset. Kekayaan yang diwarisi ibarat pisau bermata dua bisa jadi obat atau bencana. Sedangkan ilmu justru akan membuka banyak jalan.

Kita ingat kisah Nabi Sulaiman AS ketika diminta memilih antara harta, tahta dan ilmu. Ternyata Nabi Sulaiman AS memilih ilmu dan dalam riwayat beliau mendapatkan semuanya. Sekarang tinggal kita memilih sedang dan untuk apa perjalanan panjang ini ditempuh, harta atau ilmu atau sekadar kehormatan.[]

the woks institute l rumah peradaban 4/9/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde