Langsung ke konten utama

Ojo Dibanding-bandingke




Woko Utoro

Dalam Majelis Maulid Habsyi pada peringatan Haul KH. Abdul Hamid bin Abdullah Umar, Gus Baha menjelaskan sebuah topik menarik perihal Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Topik tersebut berkaitan dengan kebiasaan orang-orang sering membandingkan salah satunya terkena pada Nabi Muhammad SAW.

Aktivitas membandingkan ternyata sudah ada sejak lama. Yaitu umat terdahulu yang sering bertanya, "Apa keistimewaan nabi mu". Pertanyaan tersebut berkaitan dengan mukjizat yang tersemat ke setiap nabi. Misalnya mukjizat Nabi Musa bisa membelah lautan atau tongkat menjadi ular dianggap luar biasa dari nabi lainnya. Juga mukjizat Nabi Isa dianggap luar biasa karena dapat menghidupkan orang mati. Lantas bagaimana dengan mukjizat Nabi Muhammad SAW?

Pertanyaan tersebut diajukan karena orang-orang penasaran akan mukjizat yang bersifat luar biasa pada Nabi Muhammad SAW seperti nabi lainnya. Selain jawaban al Qur'an tentu mukjizat lain sering ditanyakan. Gus Baha menjelaskan 2 hal bahwa Rasulullah SAW pernah membuat tongkat dari kayu kurma menangis. Ceritanya tongkat itu tidak ingin diganti dengan mimbar yang dibuatkan oleh salah satu sahabat. Kisah tersebut tentu tidak hanya sekali dua kali tapi lebih bahkan disaksikan oleh beberapa sahabat. Ada lagi misalnya ketika gilingan tepung Siti Fatimah juga bisa bicara dll.

Kata Gus Baha, jika tongkat bisa membelah lautan atau batu toh hal itu banyak ditemukan. Karena gunung-gunung pun bisa dibelah dengan senjata yang sama. Jika menghidupkan orang mati dianggap luar biasa padahal itu biasa. Karena masih satu paket alias terdapat syaraf-syaraf yang masih memiliki ketersambungan. Fenomena itu misalnya diketahui oleh adanya teknologi jika ditarik di era saat ini. Tapi coba bayangkan mukjizat Nabi Muhammad SAW apakah ada keterkaitan kayu kurma dengan unsur-unsur hidup dan membuatnya bicara. Nah hal itu justru luar biasa.

Jadi intinya tidak usah dibanding-bandingkan. Bahwa mukjizat setiap nabi berfungsi sesuai dengan jamannya. Justru jika nabi disifati makan, minum dan sosial akan nampak begitu dekat dengan umatnya bukan karena keluarbiasaan.[]

the woks institute l rumah peradaban 15/9/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde