Langsung ke konten utama

Kemarahan Bapak




Woko Utoro

Untuk ke sekian kalinya bapak marah pada saya. Jarang sekali momen ini saya temui. Entah seperti apa saya sudah menghitung bapak beberapa kali memarahi saya. Kali ini marahnya serius karena perihal kehidupan.

Tentu kemarahan bapak sangat mendasar. Saya pun tidak bisa lari dari itu. Tapi saya pun tidak bisa menyalahkan diri sendiri. Intinya semua memiliki akar permasalahan yang tak bisa saling menyalahkan.

Dulu bapak memarahi saya karena gegabah mendatangi rumah seorang perempuan di Kediri. Entah apa yang merasuki pikiran saya dengan peristiwa itu. Peristiwa di mana ingin ta'aruf dengan menemui orang tua si gadis. Padahal pada saat itu pekerjaan saya masih belepotan. Tapi okelah di sini saya mengaku salah. Dan semua hanya emosi sesaat. Benar saja di sini kami menemukan kegagalan. Jika dilihat di momen ini sangat receh sekali atas apa yang saya ambil.

Akhirnya saya pun belajar dari peristiwa tersebut. Yang menjadi stabilo tentu sikap gegabah dan mudah dipengaruhi orang lain. Itu menjadi kendala utama saya dan hilangnya sikap kritis serta kurangnya menangkap insting.

Kali ini pun tak jauh berbeda. Selain soal asmara bapak marah soal usaha. Nampaknya bapak tahu saya tipe orang pemalas dan bukan pekerja keras. Bapak masih menganggap saya belum dewasa. Saya tipe orang yang belum bisa menapak di bumi.

Saya masih mencla-mencle. Saya orang yang tidak bisa fokus dan mudah menyerah. Intinya diri saya ini sangat kompleks. Bapak bahkan menyebut diri saya yang hanya mampu membuat adonan mentah. Setelah itu adonan ditinggalkan. Anda mungkin tahu makanan mentah tentu tak bisa di makan.

Dari itulah bapak mengingatkan seperti dikatakan Pakdhe Rodin bahwa pekerjaan itu harus serupa makanan. Makanan yang tentunya siap makan bahkan bermanfaat bagi orang lain. Jadi saya itu harus berpikir apa yang ingin diusahakan. Apa yang membuat saya nyaman dan dalami. Jika perlu jadi ahli dan tidak setengah-setengah. Setelah itu barulah berpikir melangkah ke depan.

Jika hidup hanya sekadar coba-coba maka pondasi belum kuat. Orang tidak lagi percaya. Karena ikhlas saja tidak cukup. Kita yang harus memastikan diri. Karena hidup itu dinamis, berkembang terus. Sedangkan usia terus berlanjut.

Dengan banyak kata-kata itu saya pun mematung. Saya hanya bisa terdiam dan memang tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya hampir menyesali nasib hati ini. Tapi saya pun benar-benar menyesal karena sikap malas dan menunda-nunda.

Hanya saja jika boleh saya bicara tentu bapak harus sadar bahwa semua ini juga akibat pola asuh beliau. Sejak kecil saya tidak diajari bekerja. Misalnya bagaimana menjadi petani di sawah. Saya hanya disuruh belajar dan itupun berbasis buku. Sekalinya saya di sawah bapak pun tidak mengajak saya untuk melakukan aktivitas berat ala petani. Akhirnya sifat malas saya terbawa hingga kini. Dan hal itu walaupun disadari akan sangat berat untuk ditumpas.

Mungkin catatan ini hanya sekadar sebatas refleksi. Saya pun tidak ingin menyalahkan bapak. Tentu hal ini akan jadi evaluasi bagi diri saya sendiri. Diri yang entah sampai kapan menemukan titik perubahan. Semoga saja Tuhan masih sudi membersamai.[]

the woks institute l rumah peradaban 4/9/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde