Langsung ke konten utama

Legacy




Woko Utoro

Saya tidak tahu hingga bertanya sejak kapan legacy atau warisan kepemimpinan berpusat pada pembangunan dalam arti fisik. Pembangunan pada gedung, jembatan, jalan, waduk hingga bandara menjadi tolok ukur keberhasilan. Oke mungkin hal itu sangat bisa ternilai karena memang bukti fisik lebih riil.

Pembangunan fisik memang lebih mudah ditangkap sebagai keberhasilan. Tapi sebenarnya ada yang tak kalah penting dari legacy utama yaitu pembangunan sumberdaya manusia. Sebelum jauh saya pun bertanya apakah legacy itu dipengaruhi oleh corak politik yang berlaku. Misalnya legacy era Bung Karno yaitu Tri Sakti atau daulat politik, berdikari ekonomi dan kepribadian budaya. Era Soeharto yaitu Trilogi Pembangunan yaitu stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Hingga era Jokowi legacy yang awalnya Nawacita, Revolusi Mental justru berakhir dengan pembangunan besar-besaran termasuk proyek trans Jawa, trans Papua hingga IKN.

Lantas legacy non-pembangunan apa bisa kita rasakan hingga kini. Salah satu hal menarik tentu era Gus Dur. Di mana legacy beliau adalah masa di mana daulat dan tunduk atas konstitusi merupakan hal utama. Sehingga tidak salah jika era ini kita bukan diwarisi pembangunan dalam makna fisik melainkan pola pikir. Seperti halnya legacy Ki Hadjar Dewantara dengan sistem among-nya atau RA Kartini dengan emansipasi wanita.

Lantas apakah legacy fisik itu salah. Tidak. Pada prinsipnya warisan itu bisa berupa apapun. Yang jelas kita harus berdiri di atas sebuah prinsip. Misalnya ada istilah legacy from dan legacy for. Maknanya bahwa legacy from cenderung berpikir tentang diri sendiri. Contohnya meraup keuntungan, prestasi, hingga nama baik. Sedangkan legacy for cenderung berpikir untuk orang lain. Sehingga dari itu warisan kebaikan adalah yang bermanfaat dalam arti cara pandang, cara berpikir dan bersikap.

Bisa sangat mungkin kita memiliki gedung-gedung pencakar langit tapi jika masih memelihara pola pikir merusak, tidak merawat hal itu justru menyakitkan.[]

the woks institute l rumah peradaban 2/9/24

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde