Langsung ke konten utama

Krisis Keteladanan Itu Menyedihkan




Woko Utoro

Krisis multidimensi sudah menjalar lama di negeri ini. Pukulan tersebut makin kentara ketika setiap orang berebut benar di media sosial. Belum lagi public figure baik artis maupun yang bertengger di parlemen tidak cukup mumpuni dalam memberikan keteladanan. Mereka masih sibuk dengan kemewahan dan memainkan bola panas, intrik politik kepentingan.

Belum lagi keadaan di masyarakat juga tak pernah usai menyisakan hal pilu di dada. Kasus-kasus kriminalitas, asusila, tawuran, korupsi, hingga pembunuhan menjadi hal biasa. Dari itulah makin hari bangsa ini melunturkan ciri khasnya sebagai negeri damai dan ramah. Menurut Mbah Nun salah satu faktornya karena bangsa ini tidak mampu ngempet (menahan) nafsu dan sibuk berlomba dalam kebenaran bukan kebaikan.

Lantas mengapa krisis keteladanan bisa terjadi dan siapa mesti disalahkan? Sederhana saja bahwa krisis keteladanan bukan karena makin sedikitnya tokoh yang berkarakter dan berintegritas. Akan tetapi justru makin banyaknya masyarakat yang tidak bisa mengendalikan egonya. Soal tokoh yang memiliki budi pekerti luhur di tubuh bangsa ini tak pernah habis sejak dulu hingga kini. Hanya saja keteladanan tersebut ditutupi oleh berita-berita pilu menyayat hati.

Dari itulah kita perlu mengevaluasi bagaimana lembaga pendidikan berjalan memproses keteladanan. Mengapa banyak orang terdidik banyak pula orang culas dan raja tega terlahir. Apakah selama ini sistem pendidikan kita keliru dalam memproduksi pengetahuan. Bisa jadi benar apa yang disampaikan Gus Mus bahwa lembaga pendidikan kita masih di level pengajaran. Sedangkan pendidikan atau at tarbiyah hanya ditemukan di pesantren. Karena pesantren 24 jam mengajari santri dengan ilmu dan mendidik mereka lewat keteladanan.

Jadi jelas di balik krisis keteladanan yang makin meluas ada tanggungjawab dari dunia pendidikan sebagai faktor mayor mencetak generasi bangsa. Jangan sampai pendidikan hanya mencetak pemikir tapi alfa akan karakter luhur bangsa. Jangan sampai pendidikan hanya melahirkan orang pintar tapi miskin keteladanan. Inilah sesungguhnya yang kita khawatir kan jika suatu hari orang menganggap bahwa pendidikan sudah usang. Bahwa kita tak lagi percaya pada lembaga pendidikan dengan alasan tak mampu mencetak keteladanan. Jika sudah begitu apa yang akan kita andalkan? apakah kecanggihan teknologi atau agama.[]

the woks institute l rumah peradaban 27/9/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde