Langsung ke konten utama

Berziarah: Memungut Kembali Spirit Perjuangan




Woko Utoro

Saya tidak tahu banyak mengapa orang gemar berziarah. Dalam konteks ini tentu ziarah ke makam orang-orang suci atau yang dikeramatkan. Sesempit yang saya tahu ziarah bertujuan ngalap berkah, ingat mati dan mengambil spirit perjuangan. Yang jelas ziarah tidak sekadar momen berkunjung melainkan sebuah aktivitas ruhani melibatkan semua indera dan perasaan.

Orang rela berjalan jauh, kepanasan, kehujanan hingga berdesakan semua demi ziarah. Tempat-tempat tertentu menjadi favorit seperti Makam Mbah Ampel Surabaya, Mbah Kalijaga Demak, hingga Muria dan Gunungjati di Cirebon. Semua berjalan demi melihat pusara sang wali dari dekat. Ketika tiba di sana perasaan campur aduk bekerja secara alamiah. Karena suasana sudah berbeda dan aura memang tak pernah bohong. Di tempat orang suci mengalir energi besar mengantar, memusat kepada Tuhan.

Al Qur'an menjelaskan bahwa para wali Allah memang masih hidup. Siapa mengira mereka sudah mati? tidak. Mereka hanya mati jasadnya. Tapi ruhnya sudah berkumpul bersama para syuhada, sholihin, ambiya wa mursalin. Mereka tetap hidup terlebih di sanubari yang selalu menyebut namanya. Kata bijak bestari para pecinta memang selalu banyak menyebut-nyebut nama yang dicintai. Semakin banyak menyebut semakin dalam pula aliran energi yang didapat.

Yang terpenting dalam tradisi ziarah itu kita selalu ingin menghadirkan semangat perjuangan di saat masih ada. Karena lewat semangat perjuangan itulah seseorang terus diingatkan akan kebaikan. Keteladanan memang lebih menancap dari sekadar kata-kata. Maka dari itu warisan terbesar para wali adalah teladannya pada umat. Hal itu pula yang diwariskan Kanjeng Nabi Muhammad SAW untuk umatnya, uswah hasanah.

Saya kira kita memang memerlukan ziarah sebagai satu alasan untuk bersyukur atas nikmat Allah yang besar. Sebuah nikmat menurunkan kekasihnya di bumi yang kita pijak. Andai para kekasih tidak hadir menyesaki bumi mungkin tempat kita singgah terasa panas. Bukankah para kekasih tugasnya menebar kasih dan kesejukan. Hal itulah yang selalu ingin kita hadirkan di ruang sempit kehidupan. Tak ada lagi sesuatu yang dapat kita banggakan selain berusaha meniru, belajar dan mengambil teladan.[]

the woks institute l rumah peradaban 25/9/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde