Langsung ke konten utama

Tentang Rindu Tentang Kamu




Woko Utoro

Entah ketika musim rindu tiba apakah orang-orang merasakan hal yang sama. Yaitu merasakan perihal kedalaman batin yang tidak bisa dijelaskan. Nampaknya pasti akan selalu berbeda. Sebab kerinduan adalah aktivitas ruhani bawaan sejak lahir. Ketika rindu tiba ungkapan dan ekspresi adalah media penjelas walaupun bersifat subjektif. 

Orang merindu dapat dilihat dari gerak-geriknya. Kerlip bola mata yang mudah nanar, tangis hingga tawa. Wajah yang sering merona, sendu dan muram durja. Atau bibir yang tersenyum, cemberut hingga lepas tanda. Semua mengandung makna tersendiri bagi yang selalu memperhatikan. Hingga lewat perasaan adalah frekuensi utama aura perindu bisa dibaca. 

Rindu memang memasuki dimensi batin. Sekalipun ragam ekspresi dapat dibaca tapi perindu bersifat ekslusif. Hanya mereka dan objek yang dirindukan yang mampu merasakan. Tapi kadang rindu itu unik. Rindu itu tidak bisa ditebak dan aneh. Karena memang sering merindu akan sesuatu yang tiba-tiba datang begitu saja. Yang paling menyesakkan dada adalah ketika merindu seseorang yang dicintai. Terlebih ketika mereka telah hidup lama dan meninggalkan jejak kehidupan. 

Sejak dulu saya meyakini bahwa pekerjaan tersulit adalah melupakan. Karena melupakan berbeda dengan mengingat dan menghafal. Di sana memori yang selalu tertinggal dan sulit tergantikan. Dalam bahasa Gus Mus alibi tak mampu menggantikan segala kerinduan. Karena bagaimanapun tanda dari garis tangan dan kelembutan selalu tertinggal di setiap sudut rumah. Jadi tak bisa kita melupakan terhadap sesuatu peninggalan manis itu. 

Coba bayangkan saja betapa orang yang tengah merindu itu menyiksa. Ketika pertemuan tak kunjung tiba rasanya seperti menggumpal dalam dada dan pikiran. Tapi ketika pertemuan tiba perindu serupa panen yang tak bisa dibendung. Rasa gembira nampak membuncah. Demikianlah bahwa yang membatalkan rindu adalah pertemuan. Sedangkan pengulangan adalah asas yang tak mungkin terjadi. Kita hanya mengingat sedikit dari sebanyak yang telah dilalui. 

Begitulah kisah rindu yang tak pernah bisa dimengerti. Rindu selalu nikmat walaupun kadang mengandung tawa dan tangis. Rindu membuat kita campur aduk terhadap segala rasa. Terlebih rindu bukan tentang perpisahan tapi tentang kehilangan. Itulah sebabnya kita tidak ingin kehilangan sosok yang dicinta. Karena kehilangan objek yang dicintai sengsara dalam waktu lama. Lantas kemana hendak mencari obatnya. []

The Woks Institute rumah peradaban 12/9/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde