Langsung ke konten utama

Melawan Ketakutan




Woko Utoro

Dalam al Qur'an penyakit manusia itu ada 2 yaitu skeptis alias ragu dan was-was alias ketakutan. Perihal penyakit kedua ini telah menjangkiti banyak kalangan. Terutama ketika dihadapkan dengan hal-hal bersifat misteri. Maka dari itu tidak salah jika hal-hal berkaitan dengan misteri masuk ke dalam rukun iman ke 5 & 6, iman pada hari akhir dan iman pada qada qadar.

Sebagai mahluk basyariyah alias mahluk biologis rasa takut mungkin hal wajar. Tapi menjadi masalah ketika rasa takut yang berlebihan. Anak muda mungkin sering menyebut, insecure sampai paranoid. 

Dalam ilmu psikologi ketakutan terjadi karena adanya respon negatif berupa bayang-bayang akibat tekanan, kegelapan, kesendirian dll yang disalurkan lewat otak. Ketakutan juga dapat terjadi akibat  omongan orang yang ter-internalisasi melalui pikiran. Awalnya hanya sebatas omongan lalu mengendap menjadi kebiasaan dan lambat laun berubah jadi penyakit.

Dampak dari ketakutan memang luas biasa. Orang yang takut tidak sekadar memutus keberanian tapi bisa juga menjadi traumatik. Misalnya takut ketinggian, ketinggalan zaman, tidak menikah, hingga masa depan. Lantas dari beragam ketakutan itu adakah solusinya.

Sederhana saja obat dari rasa takut adalah melawan ketakutan itu sendiri. Ada yang menulis jika kita takut kegelapan dalam sebuah ruangan maka bukan bagaimana menyalakan lilin melainkan bergerak membuka atau memecahkan sesuatu di area sekitar. Misalnya mencari lalu membuka pintu dan jendela. Hal itulah yang akan meminalisir ketakutan.

Bahwa kegelapan itu bukan tidak adanya cahaya. Melainkan kemampuan mata lah yang terbatas untuk berdamai dengan keadaan. Sebab mati lampu dan tutup mata itu sama lebih lagi mereka yang tuna netra.

Terakhir bahwa ketakutan adalah keberanian yang dimanja. Sehingga ketika rasa takut tiba keberanian selalu datang terlambat. Sehingga manusia itu sama bahwa keberanian selalu hadir ketika waktu dramatis tiba. Tanpa waktu kepepet nyali manusia selalu ciut. Keberanian, pengorbanan dan tekad kadang hadir di waktu-waktu krusial. Itulah yang bisa kita sebut sebagai fase akhir dari drama rasa takut.[]

the woks institute l rumah peradaban 9/9/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde