Langsung ke konten utama

Musim Pemilu




Woko Utoro

Memilih pemimpin musiman setiap 5 tahun sekali adalah bagian dari demokrasi di Indonesia. Akan tetapi hingga hari ini kita belum juga mendapatkan pemimpin ideal sesuai harapan rakyat. Tapi apakah kita yakin pemimpin itu yang dikehendaki rakyat. Rasanya belum. Karena bagaimanapun juga pemimpin adalah cerminan rakyat itu sendiri.

Kata KH Afifuddin Muhajir pemimpin itu kriterianya 2 pertama, ia tahu tugas dan fungsinya. Kedua, ia tahu bagaimana menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Jika seorang pemimpin tidak mengerti dan tidak tahu cara menjalankan roda kepemimpinan nya. Maka pemimpin tersebut tidak layak untuk dipilih. Jadi pemimpin itu harus punya basis kecerdasan dalam mengelola, benar dalam keputusan, amanah dalam tugas, dan memiliki kearifan.

Lantas bagaimana kita bisa menemukan pemimpin yang sesuai dengan kehendak rakyat. Sederhana saja, kita kembalikan lagi kondisi rakyat itu sendiri. Bagaimana pun juga orang memilih pemimpin memiliki kriteria. Misalnya yang memilih itu harus tahu, harus pintar dan memiliki pandangan luas. Sedangkan fakta di Indonesia pemilih kita masih jauh dari kriteria itu.

Pemilih kita masih mudah dibeli suaranya dengan selembar uang. Belum lagi mudah dipecah-pecah oleh intrik dan fanatisme. Jadi jangankan berpikir tentang pemimpin soal urusan memilih saja bangsa kita tertinggal dan bolak-balik jadi korban janji manis. Lantas bagaimana Islam menawarkan solusi atas permasalahan kepemimpinan ini?

Islam memberi solusi agar pemimpin dipilih oleh kelompok cerdik cendekia, yang memiliki basis keilmuan dan agama serta akhlak yang kuat. Akan tetapi karena di Indonesia menerapkan demokrasi langsung maka lagi-lagi masyarakat awam pun dilibatkan. Akibatnya suara wong cilik, tukang parkir, gali kuburan sama dengan suara profesor atau ulama. Padahal seharusnya berbeda dan memang berbeda karena berbasis nilai pengetahuan.

Intinya mari kita memilih pemimpin bukan yang mampu membayar. Akan tetapi pemimpin yang berintegritas, berkarakter, berakhlak dan memiliki kearifan.[]

the woks institute l rumah peradaban 26/9/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde