Langsung ke konten utama

Perjalanan




Woko Utoro

Dalam setiap perjalanan kita akan disuguhkan beragam macam pesona atau pelajaran. Pesona tentu berkaitan dengan keindahan dan estetika pembangunan. Sedangkan pelajaran terdiri dari ujian, cobaan sampai musibah. Dalam perjalanan semua hal itu tak pernah diketahui. Bagi seorang pejalan semua dalam hidup pasti sudah ditentukan.

Sejak dulu perjalanan menyuguhkan pilihan. Misalnya jalan panjang, jalan setapak, jalan trabas hingga jalan tol. Semua memiliki fungsi tersendiri untuk menuntun pejalan ke tempat tujuan. Soal waktu misalnya lama atau sebentar hanya bergantung kendaraan dan kondisi jalan. Semakin baik kendaraan dan kondisi jalan jarak tempuh akan makin pendek. Demikian sebaliknya kondisi jalan serta medan tempuh yang macet membuat pejalan makin lama sampai tujuan.

Inti dari semua itu bukan cepat atau lambat. Tapi efisiensi waktu dan keselamatan. Dalam asas perjalanan keselamatan adalah hal utama. Berbeda dengan kaidah balapan, kecepatan dan ketepatan adalah kunci kemenangan. Jika ditarik dalam konteks kehidupan tentu kita harus sadar bahwa hidup dalam hal apapun bukan balapan. Tapi keselamatan pengendara dan penumpangnya. Satu-satunya hal yang harus disegerakan hanyalah shalat, mengantar jenazah, bayar hutang dan menikah.

Semua hal itu pun ada porsinya. Bagi pejalan yang yakin dengan qada qadar mereka akan tetap setia pada ketetapan Tuhan. Jadi semua hal dalam hidup bukan tentang siapa lebih dulu atau siapa terlambat. Tapi tentang berdamai dengan waktu. Berdamai dengan ketetapan dan kepasrahan. Toh jika pun misalnya cinta datang terlambat kita harus tetap menyambutnya. Ini bukan soal hukuman tapi soal kapan seseorang harus siap untuk terus belajar. Tak pernah henti mencoba. Tak bosan untuk terus jatuh cinta.

Apapun merk kendaraan dan di mana kita berjalan semua memiliki tujuan yang sama yaitu menuju kepada kebaikan. Terakhir saya sangat suka dengan petuah bijak bahwa jika tak mampu menjadi jalan raya maka jadilah jalan setapak yang menunjukkan ke mata air.[]

the woks institute l rumah peradaban 11/9/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde