Langsung ke konten utama

Buku dan Kroninya




Woks

Saat mendengar ada bazar buku jiwa ini langsung berontak, meronta ingin segera ke tempat itu untuk memborong segala macam buku. Entah sejak kapan diri ini menjadi maniak buku. Kadang keinginan yang menjadi nafsu sesaat lebih mengalahkan sesuatu yang primer daripada buku yang bersifat sekunder. Tapi apa mau dikata menjadi biblioholic memang mengasyikan walaupun kantong tidak selamanya bersahabat.

Aku jadi ingat saat pertama kali jatuh hati dengan buku yaitu ketika bapak sering memberiku buku bacaan lumayan berat. Untuk anak SD yang baru saja bisa membaca aku selalu disuguhi buku bacaan anak SMA hingga beberapa potongan koran dan majalah. Lalu menjelang SMA aku disuguhkan bapak, buku Sirah Nabawiyah yang tebal itu. Walaupun tidak paham aku mencoba terus membaca, hingga lambat laun aku pun mulai senang membaca. Mungkin bapak sadar bahwa beliau tidak mampu membelikanku buku anak-anak seperti pada umumnya. Akan tetapi berkahnya aku rasakan hingga hari ini dan puncaknya saat berada di bangku kuliah.

Aku memang bukan tipe pembaca rakus atau pembaca ulung yang mampu membaca buku dengan genre apa saja. Aku hanya pembaca buku sederhana yang kebetulan sejak menjadi mahasiswa lah semua tentang buku berawal. Buku menjadi temanku mungkin karena sebagai penunjang perkuliahan, minat, penggali pengetahun hingga menambah khualitas diri. Aku sadar bahwa buku hanya menjadi jendela bagi pengetahuan sedangkan pengambanganya ada pada diri kita sendiri. Apakah hasil dari membaca itu berdampak pada sosial atau tersemat menjadi tulisan. Tentu hal itu adalah bagian dari pilihan hidup.

Buku bagiku seperti banyak orang telah membicarakannya bahwa ia ibarat sepotong pizza yang enak disantap. Ia dibaca tanpa harus bayar dan memberikan pengetahuan. Maka dari itu kebahagiaan para penikmat buku tidak bisa dibandingkan dengan apapun, karena ini persoalan hati. Aku sangat beruntung bisa terdampar untuk mencintai buku. Utamanya sejak kuliah setidaknya aku baru mengumpulkan sekitar 6 kardus penuh berisi buku. Semua buku itu aku beli dari menyisihkan uang beasiswa. Bagiku buku adalah kenangan sekaligus warisan yang tak pernah mati. Tidak hanya buku potongan kertas koran, majalah, buletin, tabloid hingga resume seminar tak luput aku kumpulkan.

Perasaan yang berlebihan dalam mencintai buku justru malah membuatku candu. Kadangkala tak sampai mempertimbangkan membeli dan kebutuhan. Maklum saja keinginan membeli buku lebih besar daripada sekedar mengisi perut dengan makan. Buku menjadi jembatan emas menuju pengetahun. Tapi bagaimanapun pentingnya, buku tidak begitu penting bagi orang lain. Padahal jika kita tahu buku adalah awal kita mengenal sekolah. Begitu pun guru yang telah berjasa dalam memperkenalkan buku dan kawan-kawannya.




Saat ada bazar dan kebetulan dana sedang mendukung aku pastikan harus segera ke sana. Karena bazar buku murah merupakan perayaan para pecinta buku. Tapi sayang buku bagi kaum proletar seperti aku masih nampak begitu mahal. Walaupun kenyataan banyak e-book di mana tapi buku asli lebih menarik daripada buku elektronik itu. Di sana kita bisa melihat ratusan buku dengan ragamnya bertengger berjajar rapi menunggu dijemput pembelinya. Aku tentu salah satu orang yang punya perhatian lebih terhadap buku. Maka tak ayal jika aku sangat menghormati orang yang menghadiahiku buku.

Kadang aku berpikir orang-orang seperti Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim, Sjahrir, Tan Malaka, Pram, Mahbub Djunaidi, Ajip Rosidi, hingga tokoh modern seperti Gus Dur, Cak Nur, A Wahib, AR Fahruddin, Buya Syafi'i, Buya Husein, Gunawan Mohammad, Prof Azyumardi Azra, Prof Quraish, Prof Nazaruddin, KH Said Aqil, Gus Nadisyah dan banyak lagi orang hebat pasti banyak sekali koleksi buku bacaanya. Mereka dipastikan merupakan pembaca ulung yang menyerap banyak ilmu dari buku. Belum lagi produktivitas menulis hasil ekstraksi membaca selalu menjadi karya yang bermanfaat. Lantas dari hanyak hal itu aku kadang berpikir untuk mengikuti jejak mereka. Jika untuk melampaui atau sejajar tidak mungkin, maka setidaknya aku sudah berniat ke arah sana. Buku dan ilmu menjadi hasrat utama dalam menempa diri. Semoga saja Tuhan berkenan berpihak padaku untuk selalu menyusuri firmanNya:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.

the woks institute l rumah peradaban 13/3/21



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde