Langsung ke konten utama

Logika Menikah




Woks

Berbicara menikah tentu sangat menarik khususnya bagi kalangan remaja yang sedang dalam asmarandana, satu fase kehidupan yang disebut sebagai berbunga asmara. Menikah memang menjadi syariat agar orang terus meregenerasi kehidupan dan menciptakan kedamaian. Orang menikah tentu berbagaimacam tujuan dari mulai yang baik hingga yang tidak baik. Maka pernikahan dikatakan sangat dianjurkan apabila seseorang memang telah mampu untuk menunaikannya, belum dianjurkan apabila tidak memiliki kesiapan dalam banyak hal dan diharamkan apabila niat menikah hanya untuk menguasai harta.

Jika merujuk pada fase kehidupan ala orang Jawa maka mereka yang menikah di usia kisaran 20 hingga 25 tahun memang sedang tiba waktunya yaitu selawe (tumibo seneng lanang lan wedok). Menurut waktu ini orang Jawa tidak gumun (aneh) jika banyak kalangan muda-mudi melangsungkan pernikahan, alasanya sederhana karena memang wayae, wancine (sudah waktunya). Akan tetapi pertanyaan yang menggelitik bagaimana mereka yang menikah lewat atau kurang dari ancer-ancer (tanda) tersebut?

Anggap saja orang menikah belum waktunya justru itulah waktunya, mereka juga bisa disebut kebelet nikah. Tapi logikanya daripada terjerumus hal yang nista lebih baik menikah dan memang lebih baik. Lalu orang yang menikah lewat dari batas ketetapan ala orang Jawa itu anggap saja dia seorang yang visioner alias masih banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum naik ke pelaminan tersebut. Baik orang yang terlalu dini atau terlambat menikah semua memiliki argumentasi masing-masing yang tidak boleh kita salahkan. Bisa jadi orang yang duluan menikah memang karena apa yang disebut mental, sandang, papan lan pangan sudah tercukupi sehingga menikahlah mereka. Sedangkan yang terlambat menikah bisa juga karena pasangannya belum ada (meminjam istilah kaum jomblo, hilalnya belum nampak), atau bisa juga karena modal dan restu orang tua. Semua hal bisa saja terjadi dan memang demikian fakta di lapangan terjadi.

Masih sering juga kita jumpai bahkan banyak yaitu menikah dalam keadaan belum memiliki apapun termasuk kata siap. Rerata orang menikah ketika siap padalah kata siap itu tidak ada. Kata itu sesungguhnya hanya semu belaka karena bagaimanapun jika sudah tiba waktunya maka tidak bisa ditolak. Ibarat buah mangga setelah ranum maka akan masak, buah tersebut tidak bisa menolak saat masak tiba. Jodoh merupakan satu dari sekian hal yang sudah ditetapkan oleh Tuhan selain rezeki dan mati. Lantas apa lagi yang akan kita ragukan selain berjalan dalam takwa, berlari dalam ikhtiar dan duduk dalam doa.

Sampai kapanpun jodoh akan selalu nampak misteri dan menikah akan jadi tanda tanya. Budayawan Sujiwo Tedjo mengatakan bahwa kita bisa saja mencintai siapa saja tapi kita tidak bisa menentukan menikah dengan siapa. Banyak kisah orang gagal setelah mereka merencanakan dengan matang. Ada yang putus di tengah jalan, ada yang pergi karena tak mendapat restu dan ada juga yang sakit hati karena kekasih berpaling serta banyak lagi kasus yang sering kita jumpai. Semua hal itu tanpa kita sadari. Lantas bagaimana kita menyikapi problem pernikahan ini?

Yang jelas menikah itu adalah perkara hati. Jika antara satu sama lain sudah saling mencinta, mengerti dan memahami maka menikahlah mereka. Akan tetapi cinta saja tidak cukup, seseorang masih memerlukan ilmu sebagai bekal berumah tangga. Tanpa adanya ilmu manusia akan kesasar dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Karena masih banyak di antara kita yang menikah bukan karena niat ibadah melainkan sekadar pelampiasan nafsu seksual semata. Maka dari itu agama sudah gamblang memberi jalan bahwa persoalan jodoh dan menikah bukan soal logika tapi soal hati yang berdasar garis takdirNya.

Saat ini berjalan saja sebagaimana mahluk yang memiliki keyakinan kepada Tuhanya, jika waktunya telah tiba maka menikah lebih baik. Mari kita simak penggalan syair dari Payung Teduh ini; 
Bila nanti saatnya telah tiba
Kuingin kau menjadi istriku
Berjalan bersamamu dalam terik dan hujan
Berlarian ke sana kemari dan tertawa
Namun bila saat berpisah telah tiba
Izinkan ku menjaga dirimu
Berdua menikmati pelukan di ujung waktu
Sudilah kau temani diriku.

the woks institute l rumah peradaban 14/3/21

Komentar

  1. Jodoh memanglah sebuah misteri bagi semua orang. Ntah peristiwa seperti apa sehingga dia berjumpa dengan jodohnya, itu adalah rahasia Allah. Setelah menikah, memang banyak problematika yg harus dihdapi. Tentu, posisi ilmu sangat strategis dalam mencairkan delik problematika tersebut. Pernikahan adalah ibadah, dan semoga kita semua dapat menjalankan ibadah tersebut dengan sebaik2nya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde