Langsung ke konten utama

Sepotong Puisi Kecil




Woks

Ibu
Malam itu aku temukan sepasang bulu dari sayap malaikat,
tergeletak di atas sajadahmu
tempat engkau bermunajat
Ibu
Aku tahu di sepertiga malam engkau mendoakan anak nakalmu ini
Doamu mewangi merasuk qolbuku
rintihan doamu menyelimuti saat aku terbaring dalam dingin
Percayalah ibu
kerinduanku kepadamu bersemi sepanjang waktu.

Di Hadapan Engkau

Di hadapan guru
aku serupa debu
serupa pasir tak berdaya

Di hadapan ilmu
aku seperti hewan
tak pernah tau peradaban

Di hadapan orang
aku seperti gelandangan
lusuh dan tak tau aturan

Tapi di hadapanmu
aku selalu ingin nampak sederhana
punya sebongkah rindu dan cinta

Tentang Hati dan Cahaya

Hati serupa rumah di penuhi jendela
jika banyak orang menguasai hatimu
sungguh aku tak pernah takut
rumah adalah tempat di mana aku bersembunyi
jika orang melewati pintu untuk menguasai hatimu
dan engkau mulai berpaling dariku
percayalah aku tak pernah pergi
aku masih tetap bersemayam di bawah jendela itu
hati dipenuhi pintu tapi jendela itu hanya milikku

Pisah Kenang

Kenapa harus berpisah jika hanya untuk mengenang
Kenang saja tanpa harus berpisah
Kenanglah selamanya, berpisah itu tidak enak

Kesunyian

Mengapa kau berdiam sendiri
bersulang bersama sepi

Mengapa kau termenung
bermandi kesunyian

Bukankah aku cahayamu
selalu bersinar di kala gelap

Bukankah aku sandaranmu
tempat engkau berbagi rasa

Apa guna keluh kesah
jika pada akhirnya ada air mata

Bukankah tangis, haru dan tawa sama saja?

Sepertinya kau memang butuh kesunyian
suasana di mana kita pernah berbagi rasa manis dalam sebuah cangkir

rindu, engkau
sunyi.

*Srigading, Penghujung Bulan Maret 2021

the woks institute l rumah peradaban


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde