Langsung ke konten utama

Kita dan Alam Medsos




Woks

Sejak revolusi industri pun ketika peran-peran mesin hingga teknologi masif membantu kinerja manusia saat itu juga dunia berubah drastis. Masuk era milenium utamanya di abad 21 manusia malah justru semakin canggih pengetahunnya. Di abad ini siapa pula yang tidak bersinggungan dengan teknologi utamanya gadget bersama segenap sahabatnya (medsos, fitur, software, dan piranti canggih lainya) merupakan produk berpikir manusia.

Sejak bangun tidur hingga tidur lagi kita memang tak bisa berpisah dari gadget. Serangkaian fitur menarik, aplikasi, dan medsos selalu menjadi sahabat setiap hari. Kita tidak bisa menghindar darinya dan pastinya selalu menjadi orang yang konsumtif atas semua itu. Gadget dan alam medsos memang menarik untuk diselami sama halnya dengan pecinta game yang telah candu. Bagaimana pun tidak pentingnya semua akan nampak penting karena medsos bersifat flow dan menenggelamkan. Orang-orang menganggap bahwa update status, melihat like, follow hingga komentar adalah bagian dari eksistensi diri. Tanpa hal itu semua seolah hidup ini terasa hampa. Gadget dan medsos memang telah menggurita menempel di tangan dan kepala.

Para maniak gadget di abad ini bisa sangat mungkin memiliki hampir semua medsos dan aplikasi penunjang eksistensi. Seolah-olah semua hal yang ada dalam gadget tersebut telah benar-benar mewakili separuh hidup kita. Sehingga kita menemukan satu cara komunikasi bersama dunia maya itu dengan intens dan sesuka hati. Gadget dan medsos telah menjadi jantung kedua penunjang kehidupan, jika tanpa itu semua dunia serasa kiamat.

Alam medsos seperti halnya alam nyata memang menyuguhkan kesenangan tersendiri bagi penggunanya. Orang tanpa sadar telah menghabiskan banyak waktu demi berselancar di dunia maya. Orang tanpa sadar menghabiskan banya kuota internet demi khusyuk di depan gawainya. Orang juga bahkan tidak sadar bahwa ia tengah hidup di dunia lain yang justru menghilangkan siapa dirinya.

Alam maya via medsos itu hampir mirip dengan alam nyata dalam skala kecil tapi bisa segalanya. Di medsos seseorang bisa sangat mudah melihat pemandangan bahkan bisa berinteraksi dengan orang lain. Mereka bisa saling komentar, menyukai (like), meneruskan (share), mengikuti (follow), memberi notifikasi (subscribe) hingga narasi negatif di dalamnya (dislike and unfollow). Medsos pula dapat membuat orang memperoleh informasi dengan mudah bahkan dunia terasa lebih dekat, dunia dalam genggaman. Bahkan orang bisa sangat berharap lewat dunia maya yang banyak memberi penghasilan. Anekdot baru berkembang dan berbunyi "Kini cita-cita menjadi guru telah bergeser menjadi Selebgram, YouTubers hingga Vlogger".

Sesungguhnya medsos itu justru rapuh dan paradoks. Di banyak sisi medsos justru membuat penggunanya terhanyut dari pergaulan dunia nyata. Tapi apa mau dikata kecuali kita terus berupaya agar dunia medsos tidak gelap gulita yaitu dengan mengisinya melalui konten informatif, kreatif, edukatif dan religius. Jika alam maya tengah krisis maka dari itu tugas kita laiknya di alam nyata yaitu "memayu hayuning bawono" utamanya di dunia cyber yang penuh gejolak ini.

Medsos yang paradoks ini bisa kita manfaatkan dengan niat bahwa pisau di tangan chef akan berarti untuk memudahkan memasak tapi pistol di tangan penjahat pasti akan membunuh. Maka dari itu medsos merupakan alam yang harus kita pilih akan seperti apa nantinya tergantung siapa yang mengoperasikannya. Perlulah kita berkaca diri untuk terus belajar utamanya mengenai literasi digital tujuanya tak lain agar kehidupan di medsos dapat berwarna akan hal-hal positif. Rumusnya jika dengan niat baik pokoknya kebaikan harus mendominasi sekalipun di dunia maya.

the woks institute l rumah peradaban 21/3/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde