Langsung ke konten utama

Shalat Sebagai Sarana Transformasi Jiwa




Woks

Sudah seribu tahun lebih kita dititipi perintah shalat sejak peristiwa agung isra mi'raj kepada Nabi Muhammad saw. Sebuah sarana beribadah kepada Allah sekaligus sarana komunikasi kepadaNya. Tentu kita tahu perintah shalat turun di saat momen psikologis diterima Nabi Muhammad saw yaitu amul huzni alias peristiwa kesedihan. Maka darisanalah Allah ingin memberi kado kepada Nabi atau dalam bahasa kita adalah hiburan untuk mi'raj ke Allah rabbul a'la.

Shalat adalah kado terindah kepada Nabi Muhammad saw sebagai penunjuk jalan, jembatan ruhani, dan penerang jiwa. Tanpa shalat manusia ibarat laron yang kebingungan atau kunang-kunang tanpa cahaya. Tapi ketika shalat kita terima 5 waktu secara bilangan masih banyak di antara kita yang masih memalingkan wajah terhadap kewajiban itu. Padahal Allah menitipkan perintah shalat kepada Nabi Muhammad saw untuk umatnya sebagai sarana taqorrub kepadaNya, shalat mi'rajul mu'minin.

Selama ini orang-orang masih menganggap bahwa shalat adalah beban. Bagi mereka shalat hanya penyita waktu aktivitas dan bekerja, padahal shalat adalah istirahatnya orang mu'min. Ditambah lagi karena beberapa redaksi menyebutkan bahwa orang yang meninggalkan shalat akan ditempatkan di neraka saqor dan orang yang melalaikan shalat juga akan dimasukan ke neraka hawiyah. Maka orang-orang nampak ragu dengan keberadaan shalat.

Nampaknya shalat memang khusus kepada mereka yang telah menerima pancaran hidayah Allah. Tanpa adanya hidayah Allah manusia tidak akan mampu merasakan nikmatnya sujud kepadaNya. Shalat sejatinya adalah terapi jiwa yang sedang sendu. Shalat juga merupakan syariat ruhaniah atau olahraga spiritual tertinggi dalam menuju kepada Allah. Ia juga adalah sarana transportasi diri sekaligus tolok ukur kepribadian manusia. Jika sholatnya baik maka kepribadiannya baik dan indikator ini memang sangat kompleks tidak bisa digeneralisir. Bahkan lebih jauh lagi shalat bisa menakar seberapa jauh pola kepemimpinan seseorang. Karena di sana terdapat nilai kejujuran, keteduhan, dan kearifan. Tentu pemimpin yang arif sangat diperlukan bagi masyarakat untuk menciptakan kesejahteraan sosial.

Di tahun 1442 hijriyah ini seharusnya kita semakin sadar untuk selalu mengingat dan melaksanakan bahwa perintah shalat itu agung. Sebagai penutup kita ingat pesan
Gus Baha bahwa apa yang menurut orang-orang penting di dunia itu justru tidak penting di hadapan Allah. Karena kenangan terindah selama kita di dunia adalah saat merunduk, sujud, menghamba kepadaNya. 
Semoga Allah senantiasa membimbing kita selalu dalam jalanya yang lurus.

the woks institute l rumah peradaban 27 rajab 1442 H

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde