Langsung ke konten utama

Mengapa Memilih Jurusan Tasawuf Psikoterapi? Bagian (3)




Pod-Writes bersama Bang Woks (Cah Angon di the woks institute & alumni TP IAIN Tulungagung)

Kali ini kita akan membahas tentang kelas dan tradisinya.

Jurnalis TWI: Oke Bang Woks kita jumpa lagi di edisi pod-writes ke-3. Ohh iya bagaimana sih ketika kita sudah masuk di jurusan TP, maksudnya suasana di kelas?

Bang Woks: Ya sebenarnya saat masuk kuliah pertama tidak ada yang spesial seperti ada sambutan, ya biasa saja. Masuk di kelas lalu perkenalan dan selanjutnya kelas akan menemukan alur ceritanya. Namanya juga serba di awal, masih pintu gerbang pastinya mahasiswa akan melahirkan kesan pertama. Di sinilah fase awal kita akan melihat sejauh mana kelas akan dihidupkan.

Jurnalis TWI: Biasanya satu kelas isi berapa orang sih Bang?

Bang Woks: Lha di sini yang menarik, sebab dari dulu jurusan TP tidak pernah banyak. Pastinya setiap tahun akan mengalami pasang surut. Dulu kelas saya ada 46 mahasiswa dan hingga lulus tinggal tersisa 23 orang. Penyusutan jumlah tersebut salah satu faktornya karena ketakutan akan jurusan, cemas akan masa depan, bingung dengan keilmuanya, tidak nyaman dan tentunya seperti salah tujuan. Bahkan ada anekdot kalau tak kuat iman maka imin akan mental.

Jurnalis TWI: Emang sebenarnya apa sih Bang yang dibahas di kelas?

Bang Woks: Ya sesuai yang pernah saya katakan dulu kita membahas multi keilmuan mulai dari hal dasar seperti ilmu kalam, filsafat, tasawuf umum, hingga pendidikan kewarganegaraan. Setelah itu spesifikasi terkait ilmu psikologi, tasawuf terapan hingga kaidah terapi. Di akhir sebagai penutup adalah praktikum, PPL hingga menyusun skripsi.

Jurnalis TWI: Biasanya metode apa yang digunakan dosen atau mahasiswa dikala di kelas?

Bang Woks: Nah persoalan ini biasanya harus ada pengertian antara dosen dan mahasiswa lebih lagi mahasiswanya. Suasana kelas memang sangat menentukan pembelajaran. Karena jika pembelajaran hanya melulu seminasi, ceramah pastinya akan membosankan. Sesekali mahasiswa bersama dosen membuat pembelajaran dengan metode ala warung kopi yang santai dan jauh dari kesan formal. Ada juga yang mengetengahkan metode ala quiz di TV. Ada lagi yang membuat metode belajar seperti dalam acara debat, musyawarah hingga menjelaskan secara personal. Bagaimanapun caranya intinya dikembalikan kepada mahasiswa karena fase mereka bukan lagi dipaksa seperti saat sekolah dulu. Di sinilah pentingnya menentukan sikap kritis dan demokratis terhadap sebuah pembelajaran.

Jurnalis TWI: Ada hal unik atau tradisi apa yang berkembang di kelas?

Bang Woks: Setiap kelas memiliki keunikannya tersendiri. Ibarat rumah tangga satu keluarga dengan keluarga lainya akan berbeda. Nah, kebetulan dikelas saya itu egaliter ada dengan berbagai macam latar belakang mulai dari organisatoris, aktivis, akademis, praksis, pelaku ekonomi hingga mahasiswa biasa. Yang masih saya ingat di kelas kami pada saat itu adalah:
  1. Bagaimana caranya agar semua anggota kelas berperan aktif dalam pembelajaran misalnya sering bertanya disaat presentasi, dan berani menyanggah, mendebat hingga mengkritik tanpa perlu takut dihakimi.
  2. Tradisi ngopi baik di saat di kelas maupun sesudahnya. Gunanya untuk menjalin relasi emosi antar satu dengan lainya.
  3. Aktif diskusi setiap pagi hari senin. Tujuanya untuk menambah jam terbang, berlatih retorika, dan pastinya menambah wawasan keilmuan.
  4. Tradisi tahlil dan doa bersama setiap ada jam kuliah malam. Tujuanya untuk mensinergikan antara kemampuan intelektual dan spiritual. Termasuk mentradisikan tradisi yang sudah berkembang di masyarakat.
  5. Rutinan saling berkunjung ke rumah teman entah sekedar masak bareng, main bareng (piknik) atau lainya.

Jurnalis TWI: Anu Bang Woks, apa yang sampean ingat tentang ketua kelas?

Bang Woks: Kebetulan di kelas kami ketua kelas hanya ada dua, pertama Mas Nurhuda alias Mbah Huda, kedua Mba Saladea Rahmawati alias Dea yang punya kampus. Mbah Huda sebagai ketua kelas tentu punya peran besar termasuk bagaimana caranya melobi dosen, waktu hingga melobi mahluk astral. Oh iya kata Mbah Huda di kelas itu banyak mahluk tak kasat mata yang juga ikut belajar apalagi ketika membahas masalah mistisisme Islam dan Jawa. Mbah Huda juga merupakan ketua kelas yang telah meletakan teori dasar tentang cinta, keluarga dan harapan yang tak pernah pupus. Walaupun harus berdarah-darah setidaknya Mbah Huda telah mengajarkan kita tentang tanggungjawab, berbagi tawa dan berbagi rasa.

Kalo Mba Dea tentu beda lagi, di era ini alam kelas nampak lebih dingin. Dingin bukan karena banyak ACnya, melainkan karena ketegasanya. Orang-orang agak sungkan ketika Mba Dea sudah bicara lebih lagi perkara tugas jika sekarang yang harus sekarang tidak bisa ditolerir. Di era ini juga kita belajar bahwa manajemen perempuan sangatlah rapih terorganisir dengan baik apalagi latar belakang Mba Dea yang MenWa itu menambah ketakutan para lelaki. Cuma kalo perkara lucu Mbah Huda jagonya mengocok perut.

Jurnalis TWI: Terakhir Bang, kira-kira sebagai orang yang pernah dibesarkan di kelas TP apa saja hal yang perlu dicatat agar kita bisa jadikanya pelajaran?

Bang Woks: Sebenarnya tidak hanya di kelas TP ya, tapi bisa secara umum bahwa kita harus memperhatikan beberapa hal dan bahkan ingin bisa menjadi pegangan hidup:
Pertama, kita harus berani mengemukakan pendapat karena status sebagai mahasiswa berpendapat adalah kewajiban. Jangan sampai kita pasif di kelas dan sikap pasif itu sudah diakhiri di sekolah dulu, di perkuliahan jangan diulangi lagi. 
Kedua, hayati suasana kelas dan suasana masyarakat, kontekstual kan pelajaran yang didapat di sana. Karena keduanya adalah cerminan untuk kita berlaku rendah hati. Gelar atau status bisa jadi mahasiswa akan tetapi kita juga bagian dari masyarakat. Jangan sampai lupa soal ini. 
Ketiga, jangan berekspektasi terlalu tinggi terhadap apapun, sebab saat hal itu tidak terwujud nanti kita kecewa. Optimis sangat dianjurkan akan tetapi lihat diri kita, kemampuan harus diukur dengan niat dan rasionalitas. 
Keempat, milikilah rasa bangga terhadap diri, kawan, guru, dan jurusan karena bagaimanapun mereka telah memberi warna dan mengisi separuh perjalanan hidup kita. 
Kelima, kita adalah seorang pencari mandiri, artinya berlaku hukum kausalitas bahwa semakin giat kita dalam meraih cita-cita maka akan mudah pula jalanya. Sebaliknya jika kita hanya berpangku tangan sebagai "manusia kelas" maka kita tak akan dapat apa-apa selain selembar ijazah. Ingatlah bahwa alam ini luas dan indah kita bisa mendapat hanyak hal dari sana.

the woks institute l rumah peradaban 4/3/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde