Langsung ke konten utama

Jika Corona Telah Pergi





Woks

Sejak corona atau Covid-19 muncul orang-orang di belahan dunia mulai ramai membincangnnya, mereka yang bukan ahlinya pun mendiskusikan mengapa corona bisa terjadi. Virus ini sudah terlampau menjadi isu utama pemberitaan sepanjang hampir dua tahun ini. Bahkan orang-orang selalu berspekulasi mengenai kapan waktu akhir dari pandemi ini.

Pandemi yang dalam kacamata orang awam selalu meresahkan ini diperkirakan telah membunuh mata pencaharian, menutup kesenangan, menyekat keinginan, membatasi aktivitas, membuat jarak pergaulan, menghentikan pergerakan, serta merepotkan. Tapi bagi kalangan ahli hikmah pandemi justru panen raya karena banyak waktu luang mereka bisa fokus mengaji, nikmat ibadah, khusyuk berdzikir, semangat berkarya, udara menjadi bersih dan dunia tak lagi bising. Lantas jika corona benar-benar pergi apa yang akan kita lakukan?

Apakah ketika corona pergi orang-orang akan meruwat bumi untuk melepaskan segala angkara murka. Mereka akan gegap gempita menyiapkan segala macam hidangan atau sesaji guna menolak hingga penjagaan diri. Ataukah orang-orang akan menyelenggarakan syukuran dengan merapakan doa-doa tanda bahwa corona telah sirna. Mereka juga akan bermunajat di hadapan para sesepuh sambil menyantap hidangan seperti nasi tumpeng plus ingkung misalnya. Atau orang-orang akan melaksanakan kirab, pawai, hingga mentri bumi tanda bahwa corona telah pergi. Atau bisa juga orang-orang akan membuat gerakan sujud syukur serentak tanda bahwa manusia adalah mahluk yang lemah. Tapi entahlah semua hanya angan-angan belaka. Yang jelas jika pandemi ini pernah jadi status bencana nasional pastinya saat virus ini hilang maka pemerintah sebagai simbol tertinggi negara harusnya ada sikap yang diambil untuk mensyukuri nikmat besar ini. Atau jangan-jangan kita kembali ke tradisi lama untuk merayakan dengan berfoya-foya.

Perlu diingat bahwa virus bagaimanapun keadaanya ia tidak bisa musnah. Karena ia hanya pergi maka jangan aneh jika mereka kembali lagi bahkan bisa bermutasi dalam bentuk yang manusia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah. Hal itu senada yang diungkapkan Dante Alighieri "All alta fantasia guri manco possa" ketika sampai pada momen agung ini, aku tidak mampu berkata apa-apa lagi. Maka dari itu lebih baik bersyukurlah karena kita tengah panen hikmah yang besar.

the woks institute l rumah peradaban 25/3/21



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde