Langsung ke konten utama

Mengapa Memilih Jurusan Tasawuf Psikoterapi? Bagian (4)




Pod-Writes bersama Bang Woks (Cah Angon di the woks institute & alumni TP IAIN Tulungagung)

Kali ini kita akan membahas tentang dosen dan peranannya bersama mahasiswa.

Jurnalis TWI: Ok Bang Woks kita jumpa lagi, sekarang kita bahas tentang Pak dan Bu dosen hehe. Menurut Bang Woks apa yang membedakan dosen dan guru pada umumnya?

Bang Woks: Sebenarnya sama ya, cuma kan istilah dosen itu berkembang dari Barat (lecture) maka ya begitu bahasa guyonya pendidikan kita nampak sekuler. Dosen juga merupakan tenaga pengajar pada satuan pendidikan tinggi. Tentu guru, ustadz atau dosen sebenarnya sama yaitu bertugas untuk mendidik, mentranmisikan ilmu, paling yang membedakan adalah spesifikasi keilmuan dan metodenya.

Jurnalis TWI: Kapan terakhir ketemu dosen Bang?

Bang Woks: Pokok setelah lulus hampir tidak intensif seperti dulu ya, akan tetapi beberapa kali masih sering ketemu walaupun hanya sekedar bertegur sapa. Tapi kita masih komunikasi juga melalui media sosial.

Jurnalis TWI: Apa peran dosen baik di kelas atau di luar?

Bang Woks: Selama yang saya amati tipikal dosen itu berbeda-beda, ada yang berfungsi sebagai pembimbing, misalnya ketika melepas mahasiswa KKN dan PPL. Ada juga yang menjadi dewan pertimbangan terutama saat mahasiswa mengalami problem akademik. Ada juga sebagai pengamat dan pengantar, biasanya ketika mahasiswa presentasi. Dosen hanya memberikan pemantik dan selebihnya mahasiswa berdiakusi. Ada juga dosen yang hanya sekadar menggugurkan kewajiban, selepas mengajar lalu pulang sedangkan interaksi dengan mahasiswa sangatlah minim.

Jurnalis TWI: Seperti halnya mahasiswa apakah dosen juga ada variannya?

Bang Woks: Mungkin bisa dibagi 5 pertama, dosen akademis yaitu tipe dosen yang dalam hidupnya hanya mengabdikan diri untuk ilmu. Semua hal di luar ilmu tak berarti baginya sehingga ciri dosen ini biasanya sangat suka belajar bahkan cenderung merenung dan menyendiri. Kedua, dosen aktivis tipe ini sangat suka berorganisasi biasanya selalu nampak hadir di setiap undangan baik acara mahasiswa maupun di luar itu. Dosen tipe ini biasanya pintar secara retorika dan motivasi tapi keilmuan tidak kunjung diupgrade. Ketiga, dosen bunglon alias mereka yang suka menyesuaikan dengan lingkungan sekitarnya. Mereka cenderung melihat kapan saat menjadi seorang akademisi dan kapan menjadi rakyat biasa. Dosen tipe ini biasanya menjadi sahabat mahasiswa. Keempat, ada juga dosen tipe mistis yaitu mereka yang sulit untuk ditemui apalagi soal tandatangan dan bimbingan. Kelima, dosen killer, dosen lucu, dosen nyentrik, dosen kiai dan masih banyak lagi yang pastinya kita akan temui saat di kampus.

Jurnalis TWI: Apa yang diingat tentang dosen sampean ketika di kampus? atau adakah dosen favorit?

Bang Woks: Wah banyak ya, yang jelas dari setiap dosen yang juga dari lintas fakultas itu saya banyak belajar dan terinspirasi dari mereka. Saya sendiri kesulitan menyebutkan satu nama dosen favorit. Saya cuma beruntung dan bersyukur pernah bertemu beberapa dosen yang luar biasa. Artinya mereka punya semangat lebih di banding dengan lainnya. Ambil contoh ada dosen yang sangat mencintai ilmu sampai-sampai setiap di kelas menerangkan di luar kepala, semua hafal dan tentunya memantik kita untuk bertanya. Secara kepribadian pun beliau unik, salah satunya selalu naik kendaraan umum dan di sana beliau sempatkan untuk membaca dan mencatat.

Ada juga dosen yang unik ketika kita main ke rumahnya di sana kita tidak disilahkan tapi justru diperlakukan layaknya yang punya rumah misalnya buat kopi sendiri dll. Termasuk jika ditawari satu hingga beberapa kali kita diam maka beliau tidak akan merespon untuk ke sekian kalinya. Tapi beliau juga tipikal orang yang cinta ilmu salah satunya di setiap sudut rumah beliau penuh dengan tumpukan buku dan yang saya suka bukunya lawas dan bersejarah.

Ada juga dosen yang perfeksionis alias harus nampak sempurna. Di mata mereka kita masih kurang dalam semangat belajar sehingga menuntut adalah solusinya. Kadang kita sendiri merasa malu tapi mau bagaimana lagi wong kita ini memang pas-pasan. Ada juga dosen yang penuh perjuangan, saat kisah masa muda diceritakan kita tentu belum ada apa-apanya di banding beliau. Dan saking gigihnya beliau  hingga dapatlah sebuah beasiswa ke luar negeri.

Ada juga dosen genit, dosen yang suka marah ketika mahasiswa bertanya ada juga dosen yang seperti sahabat dan banyak lagi tipe dosen yang saya temui. Tentu dari mereka saya banyak mendapat ilmu. Kita harus sadar bagaimanapun dosen adalah manusia yang tentu tetap ada salah dan lupa.

Jurnalis TWI: Menurut sampean peran dosen seperti apa yang kita butuhkan atau bagaimana kita bersikap dengan dosen kita?

Bang Woks: Ini kaitanya dengan keberhasilan mahasiswa ya. Jadi bagi saya jangan sampai kita kenal dosen, baik, sopan atau hormat cuma karena ingin nilainya. Hal itu sungguh merugi justru ketika kita kenal dosen berlakulah laiknya profesional ada saat di mana kita berstatus insan akademis ada juga sebagai seorang yang biasa. Justru peran dosen bagaimana pun karakter mereka semua bisa menempa buat kita melangkah. Misal ada dosen yang killer anggap saja hal itu jamu yang lebih buat kita berpacu. Jangan hanya peran dosen yang baik saja, kita perlu berbagai macam dosen untuk membentuk diri kita.

Peran dosen bagi mahasiswa tentu besar sehingga kita berkesimpulan bahwa keberhasilan mahasiswa adalah karena dosen yang berkarakter. Artinya apa yang diucapkan juga selaras dengan perbuatan dan pastinya dosen tersebut tidak selalu diposisi di atas melainkan membersamai. Kita ingat pesan Soe Hoek Gie bahwa "mahasiswa bukan kerbau dan dosen bukan dewa yang selalu benar".

Ya jika kita bersikap laiknya etika pada umumnya di mana yang muda menghormati yang tua dst. Ya cuma ini pesan saya jika bertemu dengan dosen bagaimana pun keadaannya mereka adalah guru kita. Seharusnya kita punya perhatian lebih minimal karena orang dan ilmunya. Jangan sampai kesempatan menimba ilmu dengan orang hebat itu kita sia-siakan. Seharusnya kita berusaha mendekati mereka bukan sebagai penjilat melainkan sebagai partner diskusi. Jika kita mampu menimba ilmu dari mereka niscaya dalam banyak hal kita akan terbantu minimal kita mewarisi semangat keilmuanya.

the woks institute l rumah peradaban 5/3/21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde