Langsung ke konten utama

Mengapa Memilih Jurusan Tasawuf Psikoterapi? Bagian (5)




Pod-Writes bersama Bang Woks (Cah Angon di the woks institute & alumni TP IAIN Tulungagung)

Kali ini kita akan membahas tentang TP dan FUAD sebagai bagian yang terintegrasi.

Jurnalis TWI: Halo Bang Woks, langsung saja ya menurut sampean FUAD itu seperti apa?

Bang Woks: Ya seperti itu haha. Yang jelas saya masuk 2015 FUAD baru saja berdiri sebagai salah satu fakultas besar yang dulunya di saat masih STAIN namanya masih Ushuluddin. Tentu jumlah mahasiswa, corak, pergerakan, budaya serta banyak halnya yang belum berubah seperti saat ini.

Jurnalis TWI: Sampean bisa tidak menggambarkan transisi dari Ushuluddin ke FUAD hingga saat ini.

Bang Woks: Saya tidak tahu pasti ya percisnya, yang jelas setiap kampus alih status maka harus ada hal yang dikembangkan salah satunya lewat fakultas. Nah kebetulan FUAD sebagai fakultas yang menaungi sekaligus membidani banyak jurusan berdiri sebagai wadah mahasiswa berproses. Jika zaman Ushuluddin hanya diisi oleh 3 jurusan (Tasawuf Psikoterapi, Filsafat Agama dan Tafsir Hadits) dan sekarang sudah menjadi 12 jurusan (AFI, TP, IAT, BKI, KPI, BSA, PI, IH, IPII, MD, SPI, dan SA).

Nah karena transformasi itu akhirnya selain penambahan jurusan juga penambahan mahasiswa. Akhirnya FUAD sebagai fakultas besar tentu tidak bisa membendung segala perubahan yang ada. Jangan ditanya apa saja yang berubah, yang jelas banyak hal.

Jurnalis TWI: Ya sudah Bang apa saja sih perubahan yang sampean rasakan dari Ushuluddin ke FUAD?

Bang Woks: Yang paling mencolok mungkin rasa ya, sebab kata iklan rasa itu tak pernah bohong. Terus yang juga nampak berubah: 1) Jargon Arek Ushuluddin (ASHU) berubah menjadi Jaringan Mahasiswa FUAD (Jamfud), 2). Kuantitas mahasiswa yang terus bertambah merubah banyak hal seperti gairah keilmuan, iklim diskusi, sarana pra sarana, hingga krisis lahan parkir, 3). Seiring berjalananya waktu banyak sejarah yang tidak terawat misalnya Pemuda Bonorowo, Forling, Dialog Lintas Iman, Shalawat Fajrul Ummah, Duduk melingkar diskusi bawah pohon (DPR), Asosiasi Khatter FUAD (Sakhof), Geliat Literasi Bulerin al Irfan dll, 4). Budaya kekeluargaan semakin krisis karena banyaknya mahasiswa, 5). Budaya saling masuk ke lintas jurusan untuk menambah jam kuliah sepertinya hampir tak terlihat lagi dsb.

Jurnalis TWI: Bagaimana peran mahasiswa TP di lingkup FUAD?

Bang Woks: Menurut saya perannya besar ya dalam mewarnai gerak sejarah di FUAD. Setidaknya dalam hal apapun misalnya kegiatan anak TP pasti menjadi salah satu yang terdepan bahkan saya tidak pamer dulu angkatan kami 2015 paling banyak mewarnai entah dalam kegiatan kecil seperti diskusi hingga kegiatan skala besar seperti milad fakultas dan beberapa kegiatan luar kampus. Sejak dulu hingga kini FUAD tanpa TP tidak akan asyik sebab anak TP itu memang mengasyikan. Bagi sebagian orang TP itu ibarat bumbu penutup alias gong yang membuat banyak kelakar. Urusan yang satu ini mungkin bisa panjang ceritanya.

Jurnalis TWI: Bagaimana pandangan Bang Woks mengenai tradisi FUAD atau ingatan apa terkait tradisi FUAD yang menjadi ciri khas?

Bang Woks: Wah banyak ya tradisi FUAD yang masih saya ingat bahkan ingatan itu tumbuh secara alamiah ke berbagai ingatan teman-teman secara kolektif. Perlu diingat bahwa jika bicara FUAD pasti minimal bicara 3 hal pertama, soal keilmuanya kedua, soal pergerakanya dan ketiga, soal sesuatu yang nampak mendominasi artinya anak FUAD memang bisa bersaing dalam hal apapun.

Lalu yang menjadi ciri khas tentu banyak ya, misalnya di TP siapa sih yang tidak mengenal Mbah Huda sebagai sosok yang tak terpisahkan dari jagat manapun. Sosok yang ketika kita menyebutnya pasti dia anak FUAD yang mukim di jurusan TP. Nah jika ciri khas FUAD tentu di antaranya;
  1. Lebih mengutamakan keilmuan daripada penampilan. Sehingga dalam bahasa kerenya adalah sikap revolutif liberal alias mahasiswa yang haus akan buku-buku keilmuan dan aktif dalam organisasi akan tetapi terhadap persoalan administratif cenderung tidak tertib. Kebebasan bagi mereka diterjemahkan secara luas tanpa batas sehingga mereka berasumsi bahwa setiap perbuatan yang mendasari pada keilmuan yang argumentatif menjadi benar adanya. Mahasiswa demikian cenderung meremehkan kode etik mahasiswa mereka cenderung tidak tertib dalam aturan kuliah, memakai sandal, kaos oblong, rambut dibiarkan tumbuh dll.
  2. Di mana tempatnya mereka senang diskusi, contohnya di gazebo, di bawah pohon, di warung, di masjid, di aula, di warkop hingga di sekitar rektorat. Justru di dalam kelas mereka malas karena selama ini kelas tidak menyuguhkan pembelajaran yang asyik dan nyaman sehingga alam lebih nampak berkelas daripada kelas itu sendiri.
  3. Karena terlalu kritis apapun bisa di kritisi contohnya soal kebijakan. Atau jangankan kebijakan Tuhan saya selalu dikritisi. Anak FUAD juga mudah untuk membuat aksi dan mengumpulkan masa.
  4. Terlalu banyak ngopi. Ngopi di sini diartikan secara luas sebagai arena mereka menggali wawasan lain di luar kampus. Termasuk budaya njagong yang larut malam dalam sebuah kegiatan atau rapat organisasi.
  5. Tidak terlalu fanatik dengan organisasi ekstra kampus. Karena bagi sebagian mahasiswa FUAD lebih asyik dengan keilmuan daripada dunia pergerakan yang makin hari semakin otoritarian. 

Jurnalis TWI: Sekarang kan kita tidak bisa membedakan mana anak FUAD atau mahasiswa non-FUAD, lantas apa ciri yang paling kentara Bang?

Bang Woks: Benar juga sih, sekarang soal style anak FUAD atau yang Non, itu sama saja. Akan tetapi cirinya sederhana yaitu mereka yang jika diskusi ibarat gayung bersambut. Orang bisa menebak dari cara berdiskusinya termasuk bisa dilihat ketika KKN tiba bahwa anak FUAD cukup satu saja untuk mewarnai semua. Bagi mereka semua hal di luar kampus atau dirinya adalah gelanggang samudera yang harus diselami ilmunya. Jika ada anak FUAD yang tidak punya semangat ini maka ia bukan anak FUAD secara filosofis walaupun di HEMnya tertulis nama fakultas sebesar baligho (hehe).

Jurnalis TWI: Oke Bang terakhir bagaimana menjadi mahasiswa TP yang bisa hidup di FUAD?

Bang Woks: Ya sebenarnya tidak hanya TP tapi secara umum bahwa FUAD sebagai salah satu fakultas di IAIN TA tentu punya karakter tersendiri maka dari itu pesan saya nikmati proses berdialektika selama di kampus, aktiflah sebagai mahasiswa dan rayakan kemahasiswaan itu. Jangan malas bergaul dengan siapapun termasuk lintas fakultas. Niatkan semua karena Allah swt bukan karena siapapun. Jadikan FUAD sebagai rumah yang nyaman buatmu berproses. Selalu tanya pada diri sendiri apa yang saya kurang, apa yang saya berikan buat semua orang. Ingat sekecil apapun kontribusimu sangatlah berharga. Jangan jadi mahasiswa fragmatis, oportunis dan apatis.

the woks institute l rumah peradaban 6/3/21




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde