Woks
Sega, sego atau sekul yang kita kenal sebagai nasi dalam bahasa Jawa tentu sangatlah berbudaya jika diperbincangkan. Setelah kita melewati panjangnya proses menanam, memanen, menjemur, menyelip, napeni, mesusi hingga memasak, menanak dan menyantap. Saatnya kita mentadaburi padi yang menjadi sega sebagai makanan pokok orang Indonesia khususnya wilayah barat. Berbeda dengan orang Indonesia timur yang makanan pokoknya bisa jagung, singkong dan sagu.
Beberapa kebudayaan yang kita kenal terutama di Banten dan Bali bahwa sega atau sege berasal dari kata suguhan. Karena sejak zaman dulu sega atau nasi selalu menjadi sarana utama untuk persembahan dalam acara adat. Nasi tersebut sebagai ube rampe yang dikelilingi dengan berbagai lauk pauk. Kebudayaan kita memang kaya bahkan sampai sega pun menjadi hal yang wajib dalam sebuah persembahan.
Orang tua kita tentu paham mengapa saat menyantap nasi tidak boleh sampai ber-upa (upo) nasi yang tersisa. Karena mereka selalu sayang terhadap nasi itu walau kecil tapi terkandung perjuangan yang besar, peluh keringat para petani. Tidak hanya itu mereka juga mencintai beras sebagai bahan utama dalam membuat sesuatu utamanya yang dijadikan tepung.
Saking sayang dan penghormatannya orang tua kita sampai memiliki perancah atau pemali bahwa jika makan tidak habis maka nasinya akan menangis. Itu pertanda bahwa kebudayaan padi hingga menjadi sega tidak bisa dianggap remeh. Sega telah mengajarkan kesederhanaan sekaligus sunan, susuhunan atau pengagungan terhadap apa yang selalu kita anggap kecil padahal semua anugerah Tuhan yang maha besar.
Sejak kapan padi mampu berkehendak dengan sendirinya dapat melahirkan bulir, lalu padi bernas, menguning dan panen. Kita rasa semua tak lain karena kehendak alias campur tangan Gusti Allah. Terlepas budaya Jawa yang meyakini Dewi Sri sebagai dewi padi dan kemakmuran, yang jelas semua kersane Gusti Allah kang maha suci. Saat ini kita hanya ditugasi untuk menjadi hamba yang penuh dengan syukur masih diberi kesempatan untuk jadi petani, merawat bumi, padi dan memberi rasa kenyang ke seluruh negeri.
Ada satu hal lain yang kiranya mudah luput dari kita yang alpa ini yaitu saat beras menjadi sega. Dulu orang tua kita untuk mendapatkan sepiring sega perlu perjuangan dan proses yang panjang, tapi kini seiring perkembangan zaman sega dengan mudah kita dapatkan. Bahkan orang yang tak punya sawah pun bisa dengan mudah mendapatkan beras. Setelah membeli di toko mereka tak luput memasaknya dengan magic-jer atau rice cooker. Sebuah alat menanak nasi yang kita begitu asing sejak dulu, memang sejak lama kita juga tak pernah tau apa itu instan atau sekali klik jadi matang.
Sejak zaman baheula kita memang diajari budaya konvensional yang dianggap kuno, butuh waktu lama dan katanya tidak efisien. Tapi kenyataannya proses itulah yang telah mengajari kita arti sabar, mensyukuri nikmat dan menikmati kenikmatan itu. Alat perkakas seperti sangku, wakul dandang atau tungku sebelum ada kompor gas/listrik selalu menjadi teman kita di dapur. Bersama ibu kadang kala harus rela berbagi pekatnya asap demi melahirkan sega. Bersabar di depan tungku bahkan kadangkala kita berebut air tajin hingga akhirnya sega itu matang. Setelah sega masak kami pun masih harus mendinginkannya dengan cara dikipasi (diilir-ilir).
Kita dan sega memang tak bisa dipisahkan karena bagaimanapun juga sega sudah seperti saudara kandung. Ia dipuja sebagai bahan makanan utama bahkan dalam agama agar tidak terlalu cinta ajaklah mereka dengan cara dizakati. Ya, beras itu harus dizakati karena masuk ke dalam makanan pokok dalam suatu wilayah, sama halnya di Arab dengan gandum, kurma, anggur dan lainya. Sebelum sega menjadi aneka warna seperti sega jamblang (Cirebon), sega gegog (Trenggalek), sega pecel (Madiun), sega campur, sega kuning, sega uduk, sega rames, sega gurih, sega tumpeng, sega rawon, sega goreng atau apapun itu ia tetaplah nasi yang prosesnya kita tahu sangatlah panjang. Mari kita bersyukur kepada Allah swt atas segala nikmat terutama amanat menjadi negeri agraris yang kata Koes Plus tongkat dan batu saja jadi tanaman.
the woks institute l rumah peradaban 9/3/21
Komentar
Posting Komentar