Langsung ke konten utama

Mengapa Memilih Jurusan Tasawuf Psikoterapi? Bagian (6)




Pod-Writes bersama Bang Woks (Cah Angon di the woks institute & alumni TP IAIN Tulungagung)

Kali ini di edisi pamungkas, kita akan membahas tentang TP dan IAIN Tulungagung sebagai bagian yang tak terpisahkan.

Jurnalis TWI: Bagaimana cerita awal kok bisa kuliah di IAIN Tulungagung dan mengapa bisa ambil jurusan TP?

Bang Woks: Sebelum saya kenal IAIN atau Tulungagung, saya malah lebih mengenal tentang homo wajakensis sewaktu duduk di kelas 4 SD yaitu salah satu spesis manusia purba yang ditemukan oleh van Rietschoten (1888) dan diteliti lanjutan oleh Eugene Dubois yang juga masih satu temuan dengan spesies di Sangiran Ngawi. Ternyata spesies yang tergolong homo sapien itu ditemukan di pegunungan marmer Campurdarat Tulungagung. Singkatnya saya tidak kepikiran untuk kuliah. Nah suatu saat bapak saya berkata "dulu kamu lahir di jawa (Magelang Jawa tengah) besar di jawa (Indramayu Jawa barat) dan akan kembali ke jawa entah untuk menetap atau menimba ilmu dan ternyata benar kini saya singgah di (Tulungagung Jawa timur). Singkatnya saya ambil jurusan TP seperti yang sudah saya jelaskan di awal yaitu karena keunikan jurusan tersebut.

Jurnalis TWI: Mengapa pula memilih di IAIN Tulungagung, bukan yang lain?

Bang Woks: Ya mungkin jodoh saya di sini barangkali, sebab saya sendiri terpental ke sini karena beasiswa. Sebenarnya kampus manapun sama ya, cuma yang membedakan adalah kultur dll. Di sini saya merasa senang karena antara keilmuan dan kebudayaan saling bersinergi. Apalagi budaya Jawa yang masih kental membawa saya ingin belajar dan itu sudah saya niatkan sejak lama, utamanya bahasa Jawa.

Jurnalis TWI: Apa sih keunggulan jika kuliah di IAIN Tulungagung?

Bang Woks: Banyak ya, cuma yang saya amati selain biayanya terjangkau di sini juga banyak varian keilmuan yang bisa kita dapat. Pertama, di sini mengadakan program mahad jami'ah untuk mahasiswa putri. Di sana mereka mukim di asrama yang tentunya akan digembleng dengan berbagai keilmuan, skill dan kemandirian. Kedua, di sini menyelenggarakan program madin setiap pagi sebelum perkuliahan di mulai. Program tersebut sangat baik dalam rangka membumikan tradisi intelektual pesantren di satu sisi yang lain juga sebagai benteng Aswaja agar tetap lestari. Ketiga, iklim literasi yang kian hari semakin masif di mana antara dosen dan mahasiswa saling kolaborasi dalam melakukan riset, menulis dan pengembangan akademik lainya. Keempat, dihuni oleh dosen-dosen yang mumpuni dalam berbagai bidang kajian. Selain alumni dalam dan luar negeri, dosen-dosen di sinipun memiliki ikatan emosional dengan mahasiswa yang asyik. Kelima, budaya mahasiswa yang kreatif begitu mengalir mewarnai aktivitas di kampus mungkin di masa pandemi ini sedikit vakum tapi ketika dunia telah normal kita bisa merasakanya.

Jurnalis TWI: Lalu relasi antara TP dan kampus seperti apa Bang?

Bang Woks: Ya walaupun jurusan kami minor tapi setidaknya itu menjadi hikmah akan dikenalnya oleh para pejabat kampus. Setidaknya jurusan TP ini menjadi bahan diskusi yang renyah. Karena banyak hal bisa disangkutpautkan dengan keilmuan tasawuf dan psikologi ini. Ya walaupun perjuangan kita belum selesai setidaknya harus ada upaya untuk tetap mengenalkanya kepada khalayak bahwa jurusan punya kontribusi besar buat kampus.

Jurnalis TWI: Hal yang paling mengena apa tentang IAIN Bang?

Bang Woks: Wahh banyak ya tapi menurut saya berkesan banget yang pertama, kita selalu nampak berbeda ketika berkompetisi dengan kampus lain. Seolah-olah IAIN Tulungagung ini memiliki ciri khas tersendiri sehingga mudah sekali dikenali. Kedua, saat KKN mahasiswa IAIN Tulungagung selalu unggul dalam hal unggah-ungguh. Mungkin karena kultur yang dominan desa yang membuat anak IAIN TA masih menghayati kehidupan di sana. Ketiga, rasa kekeluargaan antara semua elemen begitu terasa.

Jurnalis TWI: Harapan sampean untuk IAIN Tulungagung ke depanya bagaimana Bang?

Bang Woks: Ya tentu sebagaimana seorang alumni semoga kampus ke depan semakin baik. Baik dalam hal pelayanan, keamanan, pengabdian, keilmuan dan banyak lagi lainya. Semoga ke depanya mampu melahirkan generasi penerus bangsa yang rendah hati lagi mencintai ilmu. Tidak lupa akan jatidirinya dan tentunya bisa berkontribusi di masyarakat.

Jurnalis TWI: Apa yang akan sampean katanya pasca lulus dari IAIN Tulungagung?

Bang Woks: Terakhir saya harus mengatakan bahwa saya bangga bisa kuliah di sini, hidup di jurusan kesunyian Tasawuf Psikoterapi, saya juga beruntung bisa kenal berbagaimacam kalangan, bisa ikut menikmati proses dalam sebuah sejarah, juga berkesempatan menimba ilmu pada iklim literasi kampus yang kian hari makin progresif. Serta banyak lagi hal-hal baik yang saya jadikan tongkat untuk menuntun saya ke kehidupan selanjutnya. Pokoknya saya punya kesan tersendiri selama bermukim di kampus "Dakwah dan Peradaban" ini.

the woks institute l rumah peradaban 7/3/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde