Langsung ke konten utama

Literasi Santri Membangun Negeri





Woks

Judul atau tema mengenai literasi santri memang sudah tidak asing lagi. Kita bahkan selalu mendengarnya bahwa santri tanpa gerakan literasi maka sama dengan memutus mata rantai peradaban pesantren yang sudah terbangun sejak lama. Pesantren tentu kita tahu merupakan aset berharga yang telah menjalankan kiprah panjangnya. Secara historis kaum santri telah menjadi pilar kemerdekaan dengan menjadi jangkar nasionalisme. Tidak hanya itu ulama pesantren juga telah berhasil mewarisi semangat jihad dan ijtihad berupa aksi serta tumpuan peradaban dengan karya tulis.

Kita tidak bisa membayangkan jika para ulama tidak menulis mungkin pesantren tidak akan dikenal hingga saat ini. Betapa tidak pendidikan tertua yang selalu mendapat stigma kuno, tradisional itu sebenarnya telah berpikir jauh ke depan bagaimana caranya mengingatkan tentang jas hijau atau jangan sekali-kali menghilangkan jasa ulama pun demikian dengan jas merah ala Soekarno.

Membincang pesantren memang tak pernah berkesudahan. Pendidikan multidimensional ini selalu menjadi pusat kajian yang unik. Salah satu hal yang dikaji tentu lewat turatsnya, tradisi santri, kitab klasik, hingga adabiyah maka tak aneh jika sebagian kalangan berkata bahwa tanpa tulisan dunia akan membisu dan tak dikenal, begitu pula dengan pesantren dan segala macam keunikannya. Saking khas dan uniknya sampai-sampai KH Saifuddin Zuhri (Ayah MENAG Lukman Hakim) mengungkapkan kebanggaannya terhadap lembaga ini
"Alam pesantren adalah duniaku. Alam pesantren adalah alam yang menempa jiwa, melukis jalan pikiran, dan memahat cita-cita".

Urgensi Menulis bagi Santri

Santri dan pesantren mengapa harus menulis? pertanyaan mendasar itu sebenarnya telah berkembang sejak lama dan jawabanya hanya satu maukah kita menulis. Dalam beberapa kesempatan saya menuliskan bahwa menulis adalah warosatul ulama atau warisan para ulama. Jadi para santri tidak hanya sekadar bisa membaca kitab tapi juga harus mampu mengaktualisasikan gagasannya lewat media tulis.

Kita ambil contoh Syeikh Ibnu Athaillah Syakandary beliau adalah santri dari Syeikh Abu Abbas al Mursi dan al Mursi merupakan santri dari Syeikh Abul Hasan Syadzily. Anda pasti tahu karya tulis Syeikh Ibnu Athaillah Syakandary yaitu al Hikam menjadi rujukan lintas kaum tarekat tanpa tau bahwa penulisnya merupakan Syadziliyah tulen. Akan tetapi karena tulisannya itu beliau justru berkontribusi hingga saat ini, lainya pun banyak seperti Imam Abu Hamid al Ghazali, Imam Idris as Syafi'i dll. Lalu di kalangan tokoh modernis seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho mereka antara guru murid menyebarkan gagasanya ke penjuru dunia lewat tulisan.

Di Indonesia tentu tak kalah antiknya yaitu KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dan KH. Hasyim Asy'ari pendiri NU yang juga sama-sama murid Syeikh Sholeh Darat as Samarany, Syeikh Mahfudz Tarmasy, Syeikh Khatib Minangkabawy, juga merupakan ulama produktif menulis bahkan tulisan mereka masih dikaji hingga saat ini. Bisa dibayangkan jika mereka tidak menulis mungkin dunia akan mandek dan membisu. Bukankah dulu sebelum jaman pencerahan dunia gelap gulita (dark age) dan saat ini dunia sudah maju karena peradaban. Maka dunia berjalan dinamis karena ada tulisan yang membongkar kebekuan itu.

Tiga santri yang mendapat gelar "Pendekar Chicago" Nurcholish Madjid, Amien Rais dan Ahmad Syafii Maarif pun tak kalah cemerlangnya. Mereka mendedikasikan hidupnya lewat jalur pengetahuan salah satunya dengan menuliskan gagasan dan ikut berkontribusi menyemai pemikiran terutama tentang isu-isu keislaman, kebudayaan, nasionalisme, sosial politik, hingga wacana inklusivitas Islam. Nama lain seperti Mahbub Djunaedi, Gus Dur, Ahmad Tohari, Emha Ainun Nadjib, Acep Zamzam Noor, Dzawawi Imron, Buya Husein Muhammad, Nyai Masriah Amva, mereka adalah penulis jebolan pesantren. Kalangan yang lebih muda lagi di antaranya ada Habiburrahman El Shirazy, Ahmad Fuadi, Aguk Irawan MN, Abidah El Khalieqy dengan Wanita Berkalung Surban, Khilma Anis dengan Hati Suhita, Najhaty Sharma dengan Dua Barista dan lainya juga merupakan santri pesantren. Bahkan Raden Ngabehi Ronggowarsito atau Raden Bagus Burhan sang Pujangga Surakarta itu merupakan santri Kiai Hasan Besari Tegalsari Ponorogo yang juga masyur karena karya tulisanya di antaranya Serat Kalatidha, Wirid Hidayat Jati dan Sabda Jati.

Sebuah Kisah Pentingnya Menulis 

Dalam acara 7 hari wafatnya waliyullah al Habib Ja'far al Kaff, beliau Gus Baha menyampaikan bahwa kita selaku dzuriyyah punya tanggungan berupa menuliskan biografi beliau. Menuliskan biografi tersebut bertujuan untuk mendokumentasikan bahwa orang tersebut memang baik dan banyak meninggalkan pelajaran hidup. Tujuan lainya yaitu ikrar bahwa beliau sangat bermanfaat kepada umat sehingga dirasa perlu untuk dituliskan rekam jejaknya. Tak kalah pentingnya yaitu bahwa keluarga merasa harus memiliki karya orisinil tentang beliau agar jika terjadi simpang siur di masyarakat setidaknya biografi tersebut dapat menjadi dalil argumen yang kuat.

Apa yang didawuhkan Gus Baha bisa menjadi aspek penting agar setiap santri punya semangat untuk menulis. Pentingnya menulis tidak usah dijabarkan terlalu panjang. Intinya menulis itu adalah tradisi warisan klasik yang karenanya kita bisa tercerahkan. Dari tulisan pula selain sebagai bukti sejarah ia juga bisa mengantar kita ke sejarah lain ke masa depan.

Saat ini tradisi literasi harusnya terus dikembangkan agar khazanah pesantren dapat terus lestari. Jika tidak tertulis pesantren yang punya nilai historis itu hanya akan dikenang sementara dan lama kelamaan akan berlalu begitu saja. Coba kita lihat sejarah di balik didirikanya lembaga pendidikan tinggi pesantren alias Ma'had Aly yaitu karena kegamangan beberapa ulama kiai sepuh bahwa semakin hari pesantren mengalami penurunan dalam hal kualitas santrinya. Maka dari itu atas inisiatif beberapa ulama di Indonesia mereka akhirnya meminta restu KH. As'ad Syamsul Arifin untuk mendirikan lembaga tersebut. Akhirnya di tahun 1990 Ma'had Aly pertama berdiri di Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Asembagus Sukorejo Situbondo.

Harapan ke depan dengan didirikannya Ma'had Aly dan beberapa lembaga kajian pesantren dapat terus mengembangkan keilmuanya. Bidang-bidang ilmu mulai gramatikal bahasa, fikih, kalam, balaghah, mantiq, tasawuf dll bisa terus dikaji secara lebih komprehensif. Akibat zaman yang berbeda maka harapanya literasi pesantren bisa mengawal itu semua sebagai bentuk respon terhadap kebutuhan masyarakat akan pengetahun dan agama.

Kajian kitab turats, tradisi khas pesantren, keunikan pesantren, serta hasil syawir, bahtsul masail bisa dibukukan agar ke depannya bisa menjadi rujukan keilmuan. Pesantren sebagai pendidikan keagamaan yang komplit tentu harus bisa menyesuaikan dengan keadaan zaman. Di sinilah kita tentu senang ketika santri, nyai, kiai banyak yang turut menitipkan pikiranya lewat tulisan. Harapannya gagasan khas pesantren bisa terorganisir dalam sebuah program untuk pembekalan santri dalam memajukan keilmuan Islam. Kita juga turut menyambut beberapa ning dan gus pesantren ikut turun gunung dalam menuliskan khazanah pesantren lewat genre-nya masing-masing seperti sastra, artikel, hingga karya tulis ilmiah. Bahkan beberapa kalangan pesantren yang tak bergelar akademik mampu mengarang kitab dari berbagai van ilmu mulai dari mulai dari fikih, tasawuf hingga kalam.

Sejauh ini beberapa pesantren yang memiliki pendidikan Ma'had Aly memasukan kurikulum agar santri melek literasi. Salah satu programnya yaitu membuat karya tulis ilmiah kepesantrenan sebagai syarat kelulusan. Pesantren dengan program literasi yang sudah diterapkan di antaranya Pondok Sidogiri, Tebuireng, Situbondo, Lirboyo, Al Hikam dll. Ke depan tantangan demi tantangan sudah menanti lembaga pesantren termasuk program ma'had yang ada diperguruan tinggi untuk tetap bertahan di tengah arus digitalisasi yang masif. Di sinilah santri dan pesantren diuji seberapa tangguhnya dalam merespon perubahan zaman khususnya mempertahankan corak pesantren dengan memberi warna modern tanpa merubah substansinya.

Jika membaca, menulis, berdiskusi telah menjadi makanan harian santri maka kita akan selalu optimis bahwa pesantren akan terus relevan sepanjang zaman. Lembaga ini akan terus menjadi jangkar terdepan dalam mengawal keutuhan bangsa dan meneruskan perjuangan li illai kalimatillah. Maukah kita menceburkan diri di antara mereka para penulis yang menjadi penyambung lidah pesantren lewat tulisan?

*Disampaikan dalam acara Besan #3 Virtual Ma'had al Jami'ah IAIN Tulungagung.

the woks institute l rumah peradaban 27/3/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde