Langsung ke konten utama

Rihlah dan Dakwah LPI Al Azhaar Tulungagung




Woks

Satu hari menjelang peristiwa agung isra mi'raj nabi Muhammad 1442 hijriyah aku berkesempatan mengikuti rombongan dalam acara rihlah dan dakwah. Acara ini berlangsung satu hari sejak pagi hingga sore hari. Acara tersebut merupakan inisiatif dari LPI Al Azhaar Tulungagung dan kebetulan aku masuk di salah satu jenjang SD.

Acara di mulai dengan berkendara menggunakan bus elf dan ada juga yang naik sepeda motor. Tujuan acara ini yaitu ke pantai indah Coro yang ada di desa Besole kecamatan Besuki. Jalanan menuju ke sana begitu ekstrim yaitu masih batuan kapur atau gamping. Setelah melewati panjangnya jalan kami pun disuguhi pemandangan hijau pepohonan mulai dari pisang, jati hingga kelapa. Setelah sampai di sana kami langsung melaksanakan dzikir jamai yang di pimpin oleh ustadz Burhan, doa ustadz Niam dan mauidhoh hasanah oleh KH Imam Mawardi selaku Direktur LPI Al Azhaar Tulungagung.

Setelah acara dzikir usai kami lalu melaksanakan shalat dhuha. Ada juga yang langsung bermain air dan berswa foto melihat pemandangan alam. Dawuh KH Imam Mawardi acara tadabur alam seperti ini sangat baik sekali utamanya demi menghayati ciptaanNya, termasuk sarana merekatkan persaudaraan dan kebersamaan. Setelah acara demi acara terlewati termasuk makan rujak, bermain air, pasir, bola hingga ada yang dijeburkan ke pantai akhirnya kami pun berpindah ke tempat selanjutnya. Akan tetapi tak lupa kami pun memborong oleh-oleh berupa pisang kepok dan pisang muli.

Kami pun langsung beranjak menuju pantai Sidem yang tidak jauh dari lokasi pantai Coro. Sebelumnya kami telah melaksanakan shalat berjamaah dhuhur dan asyar dengan cara jamak ta'dim. Lalu sesampainya di sana kami langsung menyantap hidangan makan siang. Alhamdulillah menu dengan sajian ikan tongkol bakar berpadu sambal pedas menemani selera makan kami. Setelah itu tak lupa kami mengabadikan momen dengan berfoto.

Hingga waktu mulai sore kami pun langsung ke mushola yang ada di sekitar pantai Sidem untuk melaksanakan khotmil qur'an. Sengaja dari panitia membuat acara dari awal hingga penutupan berisi kegiatan yang bermanfaat. Acara itu didesain untuk pengembangan dakwah. Agar orang-orang di sekitar pantai tertarik dengan hal-hal baik seperti shalat dan membaca al Qur'an. Selain itu acara tersebut dilakukan agar kita selalu ingat kepada Allah sekalipun di tempat rekreasi. Karena selama ini kita tahu bahwa di tempat wisata orang akan mudah lupa kepada Nya.

Waktu sore pun tiba akhirnya kami pun pulang dan menutup acara dengan doa. Kami pulang melewati terowongan dan pantai Niyama. Niyama sendiri merupakan bendungan sekaligus pintu air utama dari aliran sungai Ngrowo menuju lepas pantai. Pintu air ini berfungsi sebagai pencegah banjir yang dari dulu Tulungagung terkenal dengan banjirnya. Alhamdulillah saat ini banjir sudah mulai teratasi. Kami pun lalu pulang dengan selamat. Barokah semoga acara ini bisa menjadi pelajaran buat kita semua.

the woks institute l rumah peradaban 12/3/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde