Langsung ke konten utama

PSP: Membonsai Khidmah dan Dakwah





Woks

Pesantren tentu kita tahu merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Beberapa kalangan menganggap pesantren sebagai lembaga pendidikan terbelakang, tapi faktanya kini pesantren membuktikan dengan masih bertahan di tengah kepungan zaman. Pesantren justru menjadi jangkar pendidikan sekalipun dunia tengah dilanda pandemi. Pesantren juga tetap menjadi batu karang yang kokoh dalam mencetak kader-kader santri serta terlibat aktif untuk kemajuan bangsa.

Pesantren merupakan ladang yang basah untuk diteliti karena secara historis lembaga ini telah terbukti perananya dalam berbagai hal seperti spirit nasionalisme, pejuang kemerdekaan, penggemlengan spiritual, kaderisasi dakwah hingga merawat peradaban. Dari sanalah kita tahu karena saking luasnya kajian tentang pesantren, maka pusat studi pesantren (PSP) IAIN Tulungagung melirik dunia pesantren untuk terus dirawat dan kembangkan. Bagi Dr Muntahibun Nafis lewat PSP-lah para santri ditunggu perananya baik dalam kajian, penelitian, dakwah hingga peran sosial karena pesantren merupakan bahrul ulum atau samuderanya ilmu. Di sana kita bisa melihatnya dari berbagai sisi dan sudut pandang. Pastinya dunia kaum sarungan ini tak akan pernah habis untuk digali.

Dr Muntahibun Nafis menekankan bahwa dewasa ini pesantren sedang dilirik oleh pemerintah bahkan dunia secara umum. Banyak penelitian mengenai pesantren karena kekhasanya orang menjadi terpanggil. Jangan sampai orang luar lebih tertarik daripada kita sendiri sebagai tuan rumahnya. Sudah berapa banyak karya ulama, peninggalannya, corak pesantren, tradisi, kearifan, hingga ajaran yang belum terdokumentasikan dengan baik. Maka darisanalah beberapa celah kita kaji sebagai peluang untuk menampilkan pesantren secara utuh ke berbagai kalangan. Cara yang paling sederhana ialah lewat khidmah dan pengembangan dakwah di pusat studi pesantren (PSP) ini.



Dengan adanya PSP ini harapanya tentu dapat melahirkan kader santri yang tergerak hatinya untuk selalu belajar, berjuang dan mengabdi. Kita tahu bahwa bagi santri semua dalam hidup ini adalah pembelajaran salah satunya lewat kitab, laku ulama, hingga kurikulum pawiyatan yang perlu kita selami dalam pesantren. Selanjutnya berjuang tiada henti adalah ciri khas santri karena menimba ilmu itu butuh waktu lama (tuuli zamaani) dan setelahnya kita dihimbau untuk pengabdian. Tanpa khidmah keilmuan pesantren justru tidak akan lestari. Seiring berjalannya waktu semua hal yang telah disebutkan perlu adanya sinkronisasi terutama oleh santri itu sendiri.

Salah satu cara agar semangat khidmah dan dakwah di PSP dapat berjalan dengan perasaan ikhlas yaitu diniatkan sejak awal untuk belajar karena Allah dan ingin diakui sebagai santri Mbah Hasyim. Cara itulah yang melegitimasi agar kita terus sambung secara emosional ruhaniyah untuk menjadi agen-agen menerus peradaban.
Apalah artinya sumur (santri) pada sebuah samudera (kiai) jika tidak didasari dengan niat tulus dan ikhlas dalam mengabdi.
Sehingga kita bisa bercermin bahwa PSP hadir sebagai ladang tempat kita belajar dan menanam amal. Semoga segala tindak lampah kita dicatat sebagai guratan perjuangan yang bermanfaat bagi orang lain.

the woks institute l rumah peradaban 6/3/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde