Langsung ke konten utama

Koneksi Spiritual


Maqbarah KH. Munawwir Kholid (Muassis Metode an Nahdliyah)

Woks

Kita mungkin sering mendengar atau membaca ada orang yang selalu nampak mudah berkomunikasi dengan mahluk lain di luar diri sendiri. Keyakinan bahwa yang ghaib bisa dirasakan kehadirannya merupakan rukun iman yang wajib diyakini. Karena itulah kita juga percaya bahwa mahluk di luar manusia itu ada dan bisa dirasakan.

Orang-orang yang mudah untuk berinteraksi dengan energi di luar dirinya bisa jadi karena faktor indigo, intuisi, ilham atau kejernihan hati. Orang-orang yang demikian bisa juga karena daya spiritualnya tinggi dalam batin. Atau jiwa yang mudah terbuka hijab ghaibnya dan keadaan suci hatinya. Maka dari sana mereka diberi keistimewaan oleh Allah untuk bisa menangkap frekuensi lain di luar dirinya.

Gelombang elektromagnetik yang ada dalam tubuh jika sudah saling interaksi-interkoneksi maka tidak sulit jika merasakan hal-hal mistik tersebut. Misalnya karena masih memiliki pertalian nasab atau karena satu jalur leluhur. Cerita yang demikian tentu tidak aneh jika di dunia wali ambil contoh ketika Mbah Bolong atau Mbah Shonhaji melihat Ka'bah melalui bolongan pengimaman masjid Ampel, Syaikhona Kholil Bangkalan yang selalu shalat ke Mekah dan Habib Ahmad bin Salim al Muhdhor menemukan makam Bedalem lewat mercusuarnya. Hal tersebut terjadi bisa saja karena adanya koneksi spiritual yang sama-sama memancar dan bisa ditangkap oleh masing-masing jiwa itu.

Koneksi juga sangat mungkin terjadi lantaran rasa rindu yang menggunung. Contohnya seperti cerita Habib Muhammad bin Idrus Al Habsyi kakek Habib Ubaidah Al Habsyi Surabaya yang memiliki tamu dari Tarim dan langsung dapat pulang ke Tarim karena koneksi kepada kerinduan. Ia hanya sendiko dawuh dengan apa yang diperintahkan oleh Habib Muhammad hingga akhirnya atas izin Allah ia langsung dapat pulang ke Tarim tanpa naik kendaraan melainkan lewat di atas menara rumahnya. Ada juga kisah seorang yang bermimpi berjumpa Habib Alwi bin Ali Al Habsyi (putra muallif Simtudurror dan juga abah dari Habib Anis Solo) padahal orang tersebut belum pernah bertemu beliau. Hal itu terjadi karena si orang tersebut selalu berkirim salam dan doa karena rasa rindunya. Entah bagaimana bisa ia sendiri bingung bisa merindukan orang yang belum ia temui sebelumnya. Tapi kekuatan ruh batiniyah itulah yang membuatnya bertemu.

Koneksi spiritual bisa saja terjadi pada siapapun termasuk di kalangan spiritualis yang mengkaji ikhwal kebatinan. Mimpi seperti yang kita ketahui adalah salah satu sumber yang otoritatif sebagai rujukan kebenaran. Sehingga bisa sangat mungkin jika koneksi ruhani yang tidak bisa diakses lewat piranti teknologi itu dapat terkases oleh kita. Asalkan mau terus mensucikan diri dari segala keburukan pasti kita akan diberi ilham dari pancaran cahaya Nya yang terang benderang.

the woks institute l rumah peradaban 26/3/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde