Langsung ke konten utama

Memanen Rindu Lewat Al Khidmah




Woks

Pada 20-21 Maret 2021 atau bertepatan dengan 7 Sya'ban 1442 H kita mengikuti acara Haul Akbar PP Assalafi Al Fithrah Kedinding Surabaya. Acara ini merupakan kali kedua diselenggarakan ketika tahun lalu sempat ditiadakan karena pandemi masih merebak padahal saat itu panggung, terop atau tenda sudah berdiri dan terpaksa dicopot kembali. Akhirnya di tahun 2021 ini acara berlangsung dengan khidmat walaupun dengan cara virtual.

Melihat acara tersebut kita malah justru merasakan betapa merindunya para muriddin dengan beliau Hadratus Syeikh KH Ahmad Asrori Al Ishaqy ra. Betapa tidak kekuatan ruhaniyah begitu terasa karena setiap diselenggarakan acara serupa tapi selalu terasa berbeda. Apalagi di tahun ini banyak di antara guru kita yang berpulang di antaranya al Habib Ahmad bin Zein al Kaff, al Habib Thahir bin Abdullah al Kaff, Habib Abdullah bin Umar al Haddar dan KH Hasanuddin. Walau demikian kita tidak sedikitpun berkurangnya mahabbah kepada majelis al khidmah ini.

Majelis haul akbar ini justru semakin gegap gempita ketika satu persatu dari hampir semua pelosok Nusantara sama-sama hadir melalui majelis yang dibuat di masing-masing tempat menggunakan aplikasi zoom atau streaming. Mereka begitu khusyuk mengikuti acara sejak malam hari yaitu fida' dan pagi harinya merupakan puncak. Tak kalah beruntungnya para jamaah masih terus dibimbing oleh beliau al Habib Umar bin Hamid al Jaelani melalui mauidhoh hasanah yang diterjemahkan oleh Dr KH Reza Ahmad Zahid atau Gus Reza Lirboyo.

Pesan-pesan dari al Habib Umar bin Hamid al Jaelani di antaranya kita harus bisa mencintai orang shaleh dengan akal sehat, karena dengan akal itu tujuan kita tak lain hanya menghadap kepada Allah swt. Bersukur atas nikmat akal karena lewat akal itu kita dapat berpikir tentang orang dulu yang beriman kepada Allah dan kita juga dapat melihat masa depan lewat akal tersebut. Kita juga diingatkan bahwa hal yang dicintai Allah ialah tatkala manusia mampu bermanfaat bagi sesamanya.

Kita selalu yakin walaupun lebih satu dasawarsa ditinggalkan beliau Yai ra tapi mahabbah para jamaah tak akan berkurang sedikitpun. Hal ini akan terus terjadi apabila kita terus memupuk kerinduan tersebut lewat pesan dan dawuh beliau. Melalui al Khidmah kita akan terus memanen kerinduan itu entah seberapa lelahnya kita dalam berjuang menghidupkan majelis ini. Yang jelas perjuangan kita tak akan bisa diukur dan tak akan sebanding dengan perjuangan beliau Yai ra dalam membentuk pondasi yang kuat lewat ijtihad thariqah dan ingin menjadikan thariqah sebagai oase dunia. Semoga kita senantiasa dalam bimbingan ruhaniyah beliau.

the woks institute l rumah peradaban 24/3/21




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde