Woks
Kita tahu pagelaran Ngaji Ngopi di Tulungagung begitu gayeng bahkan sampai pandemi semua tidak lepas dari perjalanan panjangnya. Ngaji Ngopi berawal dari sebuah pergerakan warung kopi dulu Kopiah Ireng namanya, yang berada di Jalan Panglima Sudirman No.80 Gg.7 Kepatihan Tulungagung, sebelum akhirnya warkop itu berganti nama menjadi Sidomarem dan akhirnya warkop Ngaji Ngopi.
Ngaji Ngopi diawali oleh sekelompok pemuda yang berafilisasi dengan komunitas EO (event organizer) Tulungagung All Star (Tul Art). Beberapa dari mereka berdiskusi kecil kecilan karena pada saat itu pengetahuan agama dirasa sangat penting lantas mereka bertanya seputar ubudiyah. Sebuh saja Gus Fahaq sebagai salah satu inisiator yang ada di warkop tersebut langsung merespon beberapa pertanyaan teman-teman untuk diwadahi dalam sebuah club diskusi kecil-kecilan. Pertanyaan menggelitik terkait masalah yang tabu pernah terlontar, kata Mas Heru Sukoco atau Mas Koko diawali oleh Mas Ibnu Ismail alias Mas Planet. Dari sanalah akhirnya terjadi diskusi disambi ngopi. Kegiatan yang akhirnya dinamai Ngaji Ngopi itu akhirnya berlanjut, lambat laun banyak tokoh yang pernah diundang dalam acara ini termasuk kalangan internal. Untuk menambah wawasan bisa dibuka di https://www.matasayu.id/2020/07/ngaji-ngopi-kapan-diseduh-lagi.html?m=1.
Ngaji Ngopi pun kini berkembang pesat bahkan hingga edisi ke 40 hasilnya dijadikan buku oleh Mas Hammam Defa dan Mba Latifatul Atiqoh dengan judul Maya Mayapada (Jejak Publisher: 2020). Berkah Ngaji Ngopi memang sangat terasa baik bagi pemilik warung karena kopinya laris terjual, para peserta pun mendapat ilmu dan pengalaman berharga dari acara itu. Bahkan mereka bisa berswafoto bersama salah satu narasumber yang berlatar belakang heterogen itu.
Belakangan Ngaji Ngopi menjadi buah bibir karena masih eksis hingga hari ini. Bahkan Ngaji Ngopi menjadi kegiatan yang hampir menjadi pantauan pemerintah kabupaten karena dinilai kritis. Ngaji Ngopi telah menjadi bagian dari sajian diskusi paling produktif sepanjang perjalanan warung kopi di Tulungagung bahkan di masa pandemi. Lambat laun acara ini berlangsung di warkop Bhara dengan alamat yang sama hanya berbeda jarak beberapa meter saja.
Mas Anwar Isbanison sebagai moderator tunggal di acara ini tentu yang paling banyak mendapat pengalaman berharga. Betapa tidak, ia telah bertemu berbagai orang dari latar belakang yang berbeda. Ia juga telah mewawancarai beragam status orang dari berbagai organisasi dan sebagainya. Selain itu sajian berupa pagelaran musik, sastra, hingga catatan di akhir acara menjadi hal yang istimewa. Ngaji Ngopi akan selalu dikenang sebagai acara sederhana akan tetapi terkesan mewah. Orang-orang datang tanpa perlu malu, canggung apalagi takut. Semua orang membaur menjadi satu secara egaliter tanpa sekat dan jarak.
Ngaji Ngopi menjadi barometer warung kopi yang memadukan tradisi ngopi dan literasi walaupun masih sebatas diskusi alias tradisi lisan. Akan tetapi sajian seni berupa event musik dan seni rupa juga kerap kali mewarnai. Dari sana banyak juga warkop yang meniru gaya beraktivitas ala warkop Ngaji Ngopi bahkan dari sini pula banyak berbagai komunitas diskusi lahir. Intinya warkop ini telah banyak melahirkan inspirasi bagi setiap orang untuk berkarya tanpa takut, bermimpi tanpa henti.
the woks institute l rumah peradaban 17/3/21
Komentar
Posting Komentar