Woks
Dunia memang sandiwara atau lebih tepatnya suka bermain peran. Tentu sebagai penonton kita lebih banyak tertipu daripada menemukan kebenaran personal. Tapi walau begitu kita masih tetap terhibur dalam sebuah pertunjukan tersebut. Hanya satu yang memungkinkan di balik semua kendali tersebut, tak lain adalah karena seorang dalang. Siapa dalang tersebut sebenarnya, tentu jawabanya bisa siapa saja. Bahkan hari ini dunia kita tengah dikuasai oleh dalang-dalang penuh intrik, propaganda dan serangan politik ekonomi. Semakin hari kita justru hanya dibuat cemas oleh penguasa.
Kawan, selamat datang di era neo-orba. Selamat datang atas kenyataan bahwa swalayan di buka sekolah ditutup. Berani kritik dipenjara, banyak diam semakin terlena. Ngopi diangkut, sekolah kalang kabut. Selamat datang juga di era kata-kata. Segala macam revolusi digaungkan, sekarang orang mengkritik malah dibungkam. Sayed Hussein Alatas berkata sifat-sifat buruk yang dipaparkan oleh revolusi mental lebih banyak terdapat di kalangan orang-orang yang berkuasa daripada di kalangan rakyat dan penghalang kemajuan adalah para pimpinan politik yang memegang tampuk kekuasaan. Jangan tanya revolusi akhlak, revolusi moral, itu juga sama: hanya sekadar kata-kata.
Kata-kata atau yang kita sebut dalam bahasa memang bersifat paradoksal. Sejatinya memiliki dua makna yang saling berseberangan, di satu sisi bahasa melahirkan kesalahpahaman tapi di sisi yang lain bahasa pula yang bisa menjelaskan. Kita dan penguasa begitulah selalu menjadi objek penyerahan kata-kata. Dengan kata "mohon maaf, harap dimaklumi, mudah-mudahan, semoga saja, kita akan segera, ini perlu tindakan, kita sudah siapkan, nanti pasti akan" dan bahasa apapun itu yang mengandung kegamangan. Pemerintah memang tidak benar-benar serius berpihak pada rakyatnya. Jika memang semua tidak dibangun berdasar argumen dan kata tentu rakyat akan jadi prioritas tapi nyatanya di bawah tampuk oligarki pemerintah masih bertengger dengan pongahnya.
Rakyat tentu sudah kenyang dengan bahasa manis bertameng memelas. Apalagi setiap lima tahunan tiba seribu bahasa menyerbu semuanya. Lantas apalagi yang akan terus menjadi manuver selain kata-kata itu sendiri. Semua memang mengandung ketidakpastian sehingga sejak dini kita persiapkan solusinya. Yang perlu kita lakukan adalah memahami. Ya pemahaman adalah jalan untuk mencoba meraih arti dari akar sesungguhnya. Sehingga kita tidak mudah terjebak dari maksudnya ini padahal artinya itu. Maka darisinilah kita harus membuka mata dengan jernih membuka hati selebar cakrawala bahwa bahasa dan kata tercipta mengandung solusi sekaligus bencana. Teruslah memahami bahasa dan kata apapun di dunia agar kita tak lagi menjadi bahan tipu daya.
Bahasa dan kata sejatinya ingin melahirkan ruang bernama demokrasi yaitu satu kondisi di mana masyarakat juga bisa menjadi alat kontrol. Di sana keterbukaan dan saling mengkritisi menjadi hal yang bisa dianggap sebagai jembatan penghubung menuju ruang demokrasi tersebut. Okky Madasari berpendapat bahwa demokrasi dimulai dari keberanian untuk mengkritik dan mendengar kritik, tanpa syarat, tanpa ancaman tanpa rasa takut. Jadi jika selama ini pemaknaan bahwa bahasa dan kata menjelma panah yang menusuk tanpa disadari dampak positifnya berarti komunikasi kita memang tidak sedang baik-baik saja. Bahasa dan kata memang sangat penting, selain untuk menjelaskan semua ia juga berfungsi sebagai alat berkeluh kesah.
the woks institute l rumah peradaban 10/3/21
Mantap
BalasHapusTerimakasih Ibu Eti :)
HapusKeren banget diksinya pak
BalasHapusMasih belajar Mba Awal hehe
Hapus