Langsung ke konten utama

Pod-Writes bersama M. Yachya Rahmatullah (Petinggi & Penggerak Sholawat Fajrul Ummah 2016-2019)




Pod-writes kali ini kita akan membahas tentang sholawat sebagai sebuah pelumas penggerak sendi-sendi kehidupan termasuk mengawal agama, sosial, politik, budaya hingga peran sentral di masyarakat.

Jurnalis TWI: Apa makna shalawat yang sampean pahami?

Mas Yachya: Shalawat itu perintah terselubung yang dijelaskan dalam al Qur'an surah al Ahzab:56 Ø¥ِÙ†َّ ٱللَّÙ‡َ ÙˆَÙ…َÙ„َٰٓئِÙƒَتَÙ‡ُÛ¥ ÙŠُصَÙ„ُّونَ عَÙ„َÙ‰ ٱلنَّبِÙ‰ِّ ۚ ÙŠَٰٓØ£َÙŠُّÙ‡َا ٱلَّØ°ِينَ Ø¡َامَÙ†ُوا۟ صَÙ„ُّوا۟ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„ِّÙ…ُوا۟ تَسْÙ„ِيمًا
Shalawat itu bentuk rasa syukur kita kepada Allah swt atau dalam bahasa Gus Baha adalah ibadah tertinggi yaitu ketika kita menikmatinya. Shalawat itu adalah harapan di mana kita akan terus memohon syafaatnya. Jadi shalawat adalah cara kita untuk terus gondelan kepada Kanjeng Nabi Muhammad saw.

Jurnalis TWI: Sejak kapan sampean bershalawat dan bagaimana shalawat bisa membuat sampean pernah mengorganisir misalnya dalam sebuah organisasi atau politik?

Sahabat Yachya: Hal-hal yang lain mungkin bisa bersifat tuntutan akan tetapi shalawat itu bersifat kewajiban bagi diri saya sendiri. Seperti halnya dulu aku diajari bapak ketika kecil, bapak sering sekali memutarkan lagu-lagu shalawat Sulis "cinta rasul". Shalawat itu menjadi revisi sekaligus rem yang mempengaruhi karakter. Misalnya ketika kita dalam organisasi atau perpolitikan dengan shalawat malah justru ketika akan berbuat keburukan kita malah tidak melakukannya, bahasa lainya ya shalawat bisa meredam keburukan.

Jurnalis TWI: Apa dampak ketika kita bershalawat, atau ketika dikontekstualkan dengan laju politik?

Sahabat Yachya: Seperti halnya tadi bahwa shalawat mempengaruhi gerak politik misalnya, sekaligus menjadi rem kita. Intinya orang yang menghayati shalawat akan memiliki nilai lebih dalam kepemimpinannya.

Jurnalis TWI: Apa semua shalawat itu baik dan seperti apa esensinya?

Sahabat Yachya: Menurutku shalawat dalam bentuk apapun semua baik. Karena bagaimanapun juga shalawat adalah perkara roso. Jika pun kita shalawat seribu kali tapi rasa dalam diri tumpul maka kita tak akan merasakan apa-apa. Salah satu fungsi shalawat adalah kita mendapat akses kemudahan. Seolah-olah ketika kita membaca shalawat kita tengah asyik berdua bersama sing duwe urip. Hidup kita akan dituntun tanpa kita sadari bagaimanapun peliknya hidup.

Jurnalis TWI: Menurut sampean shalawat itu apa harus yang ada panggungnya dengan jamaah gegap gempita atau diiringi alat musik?

Sahabat Yachya: Untuk wushul kepada Allah itu tidak harus ditentukan oleh media atau alat yang menunjang, akan tetapi persoalan merasa. Kita sholawat seribu kali pun jika rasanya tidak nyambung maka tidak akan sampai.

Jurnalis TWI: Apa tanggapan sampean terkait banyaknya tokoh atau orang yang berdakwah lewat media shalawat? lalu mengapa pula banyak yang berhasil ketika merangkul kaum marjinal dengan misalnya Mafia shalawat, Tasawuf Underground, Geng Orong-orong al Khidmah, Dakwah ala Gus Miek dan Gus Miftah dll.

Sahabat Yachya: Ketika kita melihat fenomena banyak komunitas yang bercorak tersebut atau banyak tokoh yang media dakwahnya menggunakan shalawatan mengapa anak-anak jalanan atau orang-orang dengan tanda kutip itu mudah insaf. Karena shalawat itu adalah ibadah yang paling mudah dan paling praktis. Orang yang tidak punya wudhu saja boleh bershalawat bahwa di manapun kita dianjurkan banyak bershalawat.
Bahkan orang tua dulu sering menyertakan shalawat dalam sendi kehidupannya. Selain itu karena shalawat berfungsi sebagai lantaran atau wasilah kita kepada Allah melalui nama agung Nabi Muhammad saw. Jadi tidak aneh jika para anak jalanan itu mudah bertaubat karena shalawat yang mudah itu. Coba kalau shalawat itu sulit pasti mereka kabur, misalnya menyampaikan shalawat dengan mengancam.

Jurnalis TWI: Apakah yang membawa shalawat itu berpengaruh?

Sahabat Yachya: Sangat berpengaruh. Kita ambil contoh misalnya gaya dalam membawakan shalawat antara Habib Syech dan Abah Guru Sekumpul tentu berbeda. Jika Habib Syech cenderung ngebit dan Abah Guru Sekumpul cenderung slow mengena ke hati. Maka bagaimanapun shalawat akan mudah diterima oleh rasa di hati oleh siapa pembawannya. Yang penting jangan membawa shalawat dengan cara marah-marah.

Jurnalis TWI: Pengalaman spiritual seperti apa yang pernah dirasakan terkait shalawat?

Sahabat Yachya: Setiap aku akan melakukan apapun, pasti shalawat dulu yang kulakukan. Contoh beberapa hari lalu aku diajak Gus ku ke Surabaya lalu perjalanan Kediri-Pagu motorku mati cep, setelah itu sampai di Mojoagung motorku ban-nya pecah. Akan tetapi selama perjalanan itu aku tak henti-hentinya baca shalawat. Entah bagaimana yang jelas selama terkena musibah itu masalahku sangat mudah dilalui dengan lancar. Aku tidak menamakan bahwa semua itu karena shalawat, tapi yang jelas dengan shalawat seolah ada saja jalan keluarnya. Bayangkan jika pada saat itu aku hanya nyanyi-nyanyi mungkin aku akan misuh melihat musibah tersebut. Tapi dengan shalawat justru kita dituntun untuk bersikap positif dan mengeluarkan bahasa yang baik.

Meskipun takdir itu ada tapi berkah shalawat kita seolah merasa semua hal bisa dirubah, misalnya takdir yang buruk bisa saja dirubah seketika oleh Allah karena kita bershalawat. Perlu dicatat takdir jodoh, rezeki, mati walaupun sudah ditetapkan tapi berkah shalawat serasa hidup kita tengah mendapat bimbingan, jadi ya lanjut terus.

Jurnalis TWI: Kapan waktu yang afdhol dalam bershalawat menurut sampean?

Sahabat Yachya: Waktu yang paling baik ketika kita shalawat ialah disaat marah atau emosi, di sana akan nampak rasanya. Sungguh manfaat shalawat itu tidak bisa didefinisikan bahkan A-Z pun tidak cukup menjelaskan tentang shalawat.

Jurnalis TWI: Siapa yang paling berjasa dalam memperkenalkan shalawat?

Sahabat Yachya: Bapak. Walaupun bapak ku banyak kekurangan tapi perkara shalawat beliau adalah teladan. Beliau tidak memberi banyak penjelasan, pokok langsung dicontohkan dan saat ini aku merasakan betapa energi dari pendidikan yang diajarkan oleh bapak terkait shalawat tersebut.

Jurnalis TWI: Tips atau pesan moral kepada para pecinta shalawat?

Sahabat Yachya: Tipe orang shalawat itu ada 2: Pertama, mereka yang belum paham fadhilahnya shalawat. Jika belum tau keistimewaannya shalawat maka komparasikanlah, misalnya kamu sering misuh-misuh dengan sering baca shalawat apa bedanya?
Kedua, mereka yang sudah paham tentang fadhilahnya shalawat maka sering-seringlah berkumpul dengan sesama pecinta shalawat. Alasannya karena kita sering lupa atau kita selalu mendapat celah di mana setan mudah menggoda. Maka berkumpul itu cara agar kita meminimalisir celah dari setan menggoda.

Senang shalawat sangat boleh tapi ya jangan lupa shalatnya dijaga. Shalawat saja tidak melakukan shalat ya percuma. Jangan lupa seimbangkan antara syariat dan hakikat karena syariat tanpa hakikat hidup terasa hampa. Sungguh shalawat itu adalah tarekat itu sendiri.

Jurnalis TWI: Terimakasih Mas Yachya atas ilmu dan pengalamannya. Semoga kita bersua lagi, اللهم صلي على سيدنا محمد

Sahabat Yachya: Siiap, اللهم صلي عليه و على عليه

the woks institute l rumah peradaban 22/3/21



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde