Woks
Islam sebagai agama yang dibangun dari pondasi tauhid (ketuhanan) telah banyak melahirkan tipologi pemikiran yang bervariatif. Sistem kepercayaan yang melahirkan keyakinan kepada Tuhan pada masing-masing orang tentu akan berbeda. Perbedaan tersebut paling mudah dijumpai pada saat seseorang terkena musibah atau cobaan hidup. Bisa jadi sistem imun seseorang lemah tapi sistem keimananya kuat atau sebaliknya keimananya kuat tapi sistem imun tubuhnya melemah. Seperti saat ini dunia menghadapi wabah virus corona (covid-19). Apakah mereka semakin iman atau malah semakin hilang imanya.
Keresahan karena kehidupan serba kekurangan salah satu hal yang paling kentara pada setiap orang. Perihal kekurangan itulah kadang seseorang tidak berdaya dalam menghadapi kondisi ini. Sehingga seringkali jalan pintas ditempuh guna memuluskan segala cara. Sikap demikian sering terjadi pada minoritas orang termasuk umat beragama. Salah satu faktornya karena dzat Tuhan sebagai ar razaq (sang pemberi rizki) tidak disifati dengan baik. Seolah-olah rizki itu terbatas oleh golongan tertentu saja lebih-lebih hanya berupa uang. Padahal rizki itu teramat luas macamnya, jadi jangan khawatir kita tidak kebagian rezekinya. Kata Mahatma Gandhi seharusnya orang yang meyakini kepercayaan kepada Tuhan itu malu jika masih mengkhawatirkan sesuatu. Bagi Gandhi Tuhan adalah maha segalanya.
Seperti yang pernah diutarakan Gus Baha bahwa rizki Allah itu sudah tersistematis. Jadi tak usah khawatir kita akan kekurangan. Ia diibaratkan seperti batu yang dipecah menjadi 7 dan di sana ada hewan kecil, itu tanda bahwa rizki sudah diatur. Bayangkan saja ada hewan kecil di dalam batu, lalu bagaimana cara memberi makanya? Tentu Allah lebih mengetahui tentang rizki hambanya.
Secara psikologis manusia memang memiliki kecenderungan untuk cemas dalam menghadapi realitas. Apalagi kehidupan yang tidak didasari ilmu begitu nampak keras. Sehingga nalar kritis sering tidak berfungsi bahkan rasa bersyukur selalu berbenturan dengan ego rasional. Seharusnya dalam memandang agama seseorang diperlukan rasionalitas yang jernih. Jadi secara rasional agama tidak dimaknai sesuatu yang njlimet (sukar) dipahami. Jika agama dipahami sebagai sebuah sistem nilai yang mengatur semua hal tentu Allah dzat yang maha pemberi itu akan dimaknai sebagai maha pemurah kepada siapa saja.
Manusia memang sering merasa iri, terutama soal pemberian rizki terhadap sesamanya. Terutama kepada yang non-muslim sering sekali dibandingkan persoalan ketidakmerataan Allah dalam memberikan rizki. Anggapan itulah menjadi faktor yang mudah menggoyahkan keimanan seseorang. Padahal semua hal dalam kehidupan ini telah diatur. Sekuat apapun mentalitas dalam mencari harta, toh iya telah tercatat juga. Seperti halnya Islam, ia adalah agama dengan dimensi yang tak pernah kosong. Artinya semua sirkulasi hidup ini ada yang mengatur, pun termasuk persoalan rizki.
Seharusnya kita harus bangga karena ada Tuhan yang mengatur kehidupan sejak tidur sampai tidur lagi. Ia bahkan telah mencukupi kebutuhan kita sesuai dengan kadarnya. Bagi orang yang pandai bersyukur Allah tidak selalu dipandang sebagai yang kuasa, kejam, menghukum, akan tetapi ia juga welas-asih, adil dan penghampun. Bahkan rahmatNya melebihi kemurkaanNya.
Kita telah dipilih menjadi umat terbaik, menjadi umat Nabi Muhammad saw. Hal itu saja merupakan kenikmatan yang besar, belum lagi kita ditakdir pernah bersujud, pernah mengagungkan namaNya, pernah memuji nabiNya dan tentunya masih banyak lagi jalan-jalan kebaikan yang telah Dia tunjukan. Hari ini dan seterusnya kita hanya terus memperbaiki diri bagaimana terus menjadi umat terbaik yang diamanatkan Tuhan menebar kebaikan di muka bumi.
Komentar
Posting Komentar