Langsung ke konten utama

Kontrol Emosi dengan Berkaca Diri

Woks

Melihat video tentang seorang wali santri yang memarahi Kyai karena anaknya dikeluarkan oleh pengurus pondok begitu memilukan hati. Kejadian tersebut terjadi di Pondok Pesantren al Mujtahid Pekanbaru. Kejadian itu tentu bukan kali pertama, tapi sudah sering kita lihat. Apalagi kini dunia telah dikuasai media, sehingga segala peristiwa sangat mudah diingat. Lebih lagi segala macam hal mudah sekali viral.

Menyimak kejadian singkat itu mungkin saja orang dengan mudah menyalahkan si pelaku, dan sebagian lagi menyayangkan perilakunya. Akan tetapi penilaian subyektif itu tentu saja ada pada setiap orang. Sehingga sebelum menarik kesimpulan sebaiknya kita analisa terlebih dahulu mengapa hal itu harus terjadi lagi. Apakah kurang contoh bagi si pelaku sejak ia sekolah dulu, atau memang ia telah terlahir sebagai orang yang diperlakukan ala raja? dan lainya.

Jika yang salah adalah anak si pelaku dan wali santri tersebut tidak terima dengan keputusan pondok, maka seharusnya ia bertanya pada si anak. Apa yang telah dilakukan selama di pondok dan mengapa ia melanggar peraturan yang berlaku. Bukankah orang tua juga telah menyepakati bersama tata tertib tersebut. Karena keyakinan kita bahwa di suatu lembaga pasti ada namanya peraturan.

Jika masalahnya hanya karena merokok atau bolos, tentu kita harus mengormati peraturan itu. Walaupun dibeberapa pondok kang-kang santri merokok dengan nikmatnya. Akan tetapi kita harus sadar bahwa di lain tempat maka beda pula adatnya. Jika masalahnya si anak tidak ingin di atur dan si wali santri tidak percaya dengan sang Kyai maka mereka harus belajar adab. Mari kita ingat kembali dalam kitab Ta'lim al Muta'alim karya Syeikh Burhanuddin Az Zarnuji Khalifah Harun ar-Rasyid pernah mengirim putranya kepada al-Ashma’i agar diajari ilmu dan adab. Pada suatu hari Khalifah melihat al-Ashma’i berwudhu dan membasuh sendiri kakinya, sedang putra Khalifah cukup menuangkan air pada kaki tersebut. Maka Khalifah pun menegur dan berujar, “Putraku Aku kirim kemari agar engkau ajar dan didik, tapi mengapa tidak kau perintahkan agar satu tangannya menuang air dan tangan satunya lagi membasuh kakimu?” 

Dari cerita singkat itulah tentu kita sadar bahwa penimba ilmu harus memuliakan guru atau ahli ilmu. Jika anak dan orang tua sadar akan hal itu tentu mereka akan paham bahwa pendidikan pesantren merupakan pendidikan yang mengintegrasikan antara ilmu, akhlak dan amal. Termasuk sang Kyai yang dimarahi oleh si pelaku tersebut, beliau tidak marah dan membalasnya. Karena beliau tau bahwa emosi atau amarah jangan dilawan dengan hal yang sama. Cukup saja dilawan dengan diam, karena saling meninggikan emosi tak akan menemui solusi. Kepala mendidih hanya akan menyulut hal-hal yang merugikan, sebab ia tengah kehilangan akal. Maka dari itu berpikir jernih lebih baik dari pada marah tak karuan. Dari peristiwa itu kita diajak berkaca lagi untuk lebih beradab dalam memperlakukan seseorang, lebih lagi kepada seorang guru.

Satu hal lagi yang penting dan patut di garisbawahi yaitu pada dunia pesantren ada tradisi wali santri menyerahkan anaknya untuk dididik oleh dewan assatidz. Sehingga di awal seperti ada kesepakatan agar anak tersebut dididik dan diserahkan untuk ditempa sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sehingga jika terjadi hal-hal yang aneh menurut orang non-pesantren, justru itu merupakan proses penempaan yang keras. Sebab orang belajar itu melelahkan. Jika seorang anak ingin berhasil dalam pembelajaran maka antara anak, orang tua dan guru harus satu visi. Itulah sistem integrasi yang harus dipahami bersama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde