Langsung ke konten utama

Corona dan Kegundahan Iman

            (Sumber gambar Canva.com)

Woks

Mewabahnya virus corona (COVID-19) yang disinyalir berasal dari Wuhan China begitu mengkhawatirkan. Sedangkan jumlah orang yang diduga positif corona terus saja bertambah, termasuk yang dinyatakan meninggal dunia. Virus yang diduga berasal dari hewan atau perilaku kurang menjaga kebersihan itu kini semakin masif menyebar ke setiap negara. Tidak peduli seperti apa iklimnya atau juga kecanggihan teknologinya, semua tak jauh beda. Bahkan saat ini penanganan dengan segala usaha masih terus digalakan para ahli. Termasuk upaya preventif yang sekarang sudah diberlakukan oleh pemerintah.

Usaha-usaha yang dicanangkan pemerintah terkesan lucu seperti meliburkan kegiatan belajar-mengajar di sekolah, menutup tempat-tempat umum, dilarang berjabat tangan, melarang kegiatan perkumpulan, dan bahkan ada yang meniadakan shalat jum'at. Upaya tersebut terkesan seperti meniadakan peran Tuhan dan malah lebih takut dengan sebuah virus. Hal inilah yang kini menjadi tantangan umat beragama untuk bertanya di mana iman berada?

Secara geopolitik saat Amerika memanas dengan China, seolah-olah warga dunia tersentak. Kekagetan itu muncul saat ketegangan negara adidaya itu reda dan langsung disambut dengan wabah corona. Bagi sebagian pengamat mengatakan bahwa fenomena ini tidak lebih dari upaya bioterorisme, yaitu sebuah usaha dari negara kuat atau sekelompok yang bermodal besar untuk menyebarkan virus berbahaya guna meraup keuntungan. Lihat saja saat diberbagai negara menutup akses buka tutup penerimaan warga asing bahkan sampai membuat keputusan lock down di berbagai kotanya, justru beberapa negara seperti aman-aman saja. Atau memang karena peran media yang menutupi isu global ini. 

Indonesia sendiri sudah menyatakan bahwa wabah virus ini menjadi bencana Nasional. Sehingga semua warga dihimbau untuk berhati-hati, tetap tenang dan menjaga kesehatan sesuai dengan intruksi yang ada. Akan tetapi ironisnya beberapa pejabat tinggi negara justru satu persatu terdampak positif corona. Sehingga keresahan di kalangan akar rumput semakin tak terkendali. Termasuk saat kasus penimbunan masker dan sulitnya mencari obat corona mencuat. Lagi-lagi masyarakat lah yang pertama kali dibuat cemas yang berkepanjangan.

Beda dengan respon kalangan agamawan utamanya Islam dalam memandang virus corona ini. Menurut mereka fenomena ini merupakan teguran dari Tuhan kepada negara yang sombong dan angkuh. Mereka mentang-mentang memiliki kecanggihan teknologi sehingga terlena untuk mudah menantang Tuhan. Anggapan bahwa kekuatan akal adalah segala-galanya tentu sebuah kesalahan fatal. Sehingga sains dan teknologi selalu dipuja-puji padahal ada kekuatan lain yang lebih besar.

Dengan adanya corona ini seharusnya manusia berkaca diri tentang ayat-ayat Nya. Seperti ayat qauliyah yang tertera pada al Qur'an dan ayat-ayat kauniyah yang terdapat pada alam. Allah melalui al Qur'an telah memperingatkan kepada manusia jika mereka melampaui batas, pun termasuk respon alam yang menunjukkan tanda-tanda nya sehingga seharusnya manusia berpikir dengan bijak. Dengan kata lain mungkin saja corona ini adalah bentuk tantangan iman. Karena virus COVID-19 ini epideminya berbeda dengan sebelumnya seperti H5N1 flu burung dan H1N1 flu babi maka tingkat kewaspadaan manusia pun begitu ekstra. Virus ini menyerang siapa saja dengan mudah. Lalu jika penyebaran virus ini karena perilaku hidup kurang bersih justru Islam sejak ribuan tahun lalu telah melakukan hidup bersih melalui ajaran thaharah.

Ajaran thaharah atau bersuci selalu menjadi bentuk ritual untuk mengawali ibadah baik ibadah mahdah maupun ghairu mahdah. Jika ingin shalat dan membaca al Qur'an pastinya akan berwudhu maka dari sanalah bisa ditinjau hidup seseorang akan bersih selalu. Salah satu bukti bahwa bersuci ini penting yaitu pasti menjadi awal atau pengantar dari sebuah kita baik itu kitab fikih atau pan ilmu lainya. Selain bersuci dimaknai secara fisik yang terpenting adalah bersuci yang dimaknai secara qolb (hati). Bahkan keadaan hati dan akal menulai tingkat kesehatan mentalnya. Jadi jika dalam situasi seperti sekarang ini kita jangan risau dan gundah. Keyakinan harus merespon bahwa Allah tidak tidur dan kita pun selalu terus berusaha mencari solusinya.

Melihat sekilas kegundahan karena merebaknya virus corona ini, kita jadi ingat saat Nabi Muhammad saw diisukan tewas terbunuh. Peristiwa itu saat pecah perah di Uhud, di mana salah seorang pihak Quraisy bernama Abdullah bin Qamiah mengklaim bahwa Rasulullah telah mati. Dari berita yang belum valid itu banyak sahabat yang langsung down mentalnya, mereka seperti kehilangan ghiroh berperangnya. Apalagi memang sejak awal beberapa sahabat terutama di pos panah tidak mendengar titah Rasulullah untuk tetap siaga di posnya. Mereka malah langsung berebut ghanimah yang berkilauan, padahal perang belum usai. Benar saja pasukan 700 orang yang memukul mundur pasukan Quraisy yang berjumlah 3000 itu akhirnya malah terbalik. Pasukan muslim gugur sebanyak 70 syuhada dan inilah yang amat disayangkan. Akan tetapi faktanya Rasulullah selamat dan bagi yang kuat imannya mereka tetap tenang bahwa nabinya dijaga oleh Allah swt.

Ingatan kita pada tragedi Uhud itu sesungguhnya mengajak untuk lebih berpikir positif dan tetap tenang, buang rasa resah dan gundah. Di sini keimanan seseorang sedang diuji apakah ia tetap kuat atau rapuh. Baik itu wabah atau bencana kemanusiaan apapun tetap berpikir bahwa Allah yang memberi penyakit maka Dia juga yang memberi obatnya. Mari kita serahkan kepada Allah dengan memperbanyak doa dan dzikir serta budayakan hidup bersih.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde