Langsung ke konten utama

KH Hafidz Baehaqi: Ulama yang Dekat di Hati Masyarakat

(Foto doc. KH Usfuri Anshor & KH Hafidz Baehaqi)

Woks

Saat pertama kali berkenalan dengan beliau hatiku langsung damai. Entah ada energi apa yang hidup di jiwa beliau sehingga untuk kesekian kalinya aku mendapat percik kesejukan. KH Hafidz Baehaqi atau orang banyak memanggil beliau dengan Pak Hafidz merupakan tokoh, kyai, sekaligus pendidik di Yayasan Nurul Hikmah Haurgeulis Indramayu. Beliau berasal dari Blitar Jawa Timur, tepatnya daerah Kebonagung, Wonodadi kabupaten Blitar.

Aku tidak tau pasti sejak kapan beliau di Indramayu dan menjadi penduduk tetap. Yang jelas pertemuan ku dengan beliau hanya berlangsung dua bulan. Sejak saat itu beliau sudah menjadi guru, ketua yayasan dan Rais Syuriah MWC NU kecamatan Haurgeulis. Walau hanya dua bulan aku merasa pertemuan singkat itu malah bertahan hingga saat ini. Bahkan sekarang aku bisa bersilaturahmi dengan keluarga beliau.

Selama pertemuan singkat itu ada beberapa hal yang menurut ku istimewa dari beliau, pertama, beliau adalah seorang kyai panitan yang kharismatik. Hal itu terbukti saat kepulangan beliau banyak orang yang mengaku kehilangan sosok teduh dan santun itu. Beliau bahkan tidak hanya dikenal di kalangan politisi atau orang-orang besar lainya tapi ke semua kalangan termasuk pedagang kecil dan tentu siswa-siswi nya.

Kedua, beliau itu aktif mengaji dan berorganisasi bahkan menurut beberapa orang, beliau itu sempat ingin pergi ke acara imtihan (perpisahan) sekolah padahal kondisi beliau sedang down. Saat sakitpun beliau masih sempat memikirkan jamaahnya. Sehingga darisanalah beliau itu sebenarnya ingin terus istiqomah walau keadaan tak memungkinkan sekalipun. Ketiga, beliau itu sebelum bertanya kepada orang lain pasti yang ditanyakan pertama adalah nama masjid/mushola. Setelah beliau tau tentang nama masjid atau mushola tersebut maka beliau langsung paham dengan ketua tamir atau pengurus masjid tersebut. Sehingga beliau langsung tau di mana seseorang tersebut bertempat tinggal. Hal ini juga yang menjadikan beliau paham orang yang ditanya itu aktif di kepengurusan masjid atau tidak.

Keempat, beliau itu dekat dengan semua kalangan tak terkecuali siswa-siswi nya. Saat beliau ingin dipijat misalnya, beliau tidak memilih anak yang pandai sebab mereka sudah mampu berpikir, justru beliau akan memanggil anak yang paling mbeling (nakal) sehingga darisanalah ikatan emosional terjalin. Bahkan soal menulispun beliau sangat perhatikan, persoalan sekecil apapun tidak luput dari penglihatan beliau, sebab seperti halnya menulis sudah dijelaskan dalam kitab Ta'lim al Mutaalim bahwa menulis itu harus rapi, mudah dibaca, jangan menggunakan tinta merah dan lainya. Hal itulah yang menurut beliau penting bahwa semua hal itu ada ilmunya.

Kelima, beliau itu tidak pernah membuat alasan dalam hal apapun. Sebab jika seseorang banyak berdalih pasti persoalan tak akan cepat selesai. Seperti seorang anak yang diperintah menggunting kuku lalu anak itu ngeles nanti saja, maka beliau langsung menegurnya, "jika bisa sekarang mengapa harus tunggu nanti?". Hal-hal sekecil itupun beliau sangat perhatikan apalagi hal-hal yang besar lainya. Sebenarnya masih banyak kearifan beliau yang sebenarnya aku sendiri belum mengetahui nya.

Selain aktif sebagai petinggi organisasi beliau juga aktif mengisi pengajian di berbagai majelis taklim baik di masjid atau pun bersama ibu-ibu muslimat. Termasuk juga mendidik santri-santri di Pondok Mifathul Jannah Lebak Sukajadi Haurgeulis. Sayang sekali perjalanan hidup beliau sangat singkat sekali. Mungkin ini cara Allah swt memperkenalkan bahwa hambanya yang baik bukan dilihat seberapa panjang usianya tapi seberapa manfaatnya untuk umat. Beliau wafat pada 23 Juni 2013 di Kubangsari Haurgeulis. Selamat jalan bapak, aku mengenangmu sebagai suri tauladan yang selalu dirindukan. Al fatihah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde