Langsung ke konten utama

Sumpah Politik hingga Sumpah Cinta

Woks

Budayawan Mohammad Sobary pernah berujar bahwa kehidupan dari titik nol telah bermetamorfosa menjadi nol besar alias banyak bohongnya (Kompas, 24/5) khususnya bagi para pejabat. Setelah mereka dilantik sebagai pejabat instansi terkait, sebagian mereka tidak menepati janjinya. Padahal saat kampanye politik berlangsung mereka telah berjanji untuk memperjuangkan hak-hak rakyat. Bahkan sumpah jabatan dibimbing langsung oleh tokoh agama. Dari sanalah orang mudah percaya bahwa sumpah dan tokoh agama merupakan simbol kesungguhan yang dianggap mewakili kepercayaan banyak orang.

Sumpah yang demikian kita kenal dengan pelantikan atau sumpah jabatan. Sumpah itu sendiri bersifat sakral. Bahkan atas nama Tuhan dan di payungi kitab suci. Tidak cukup bahwa dulu saat tahkim dalam perang Siffin berkecamuk, al Qur'an yang konon diacungkan ke atas itu membuat seluruh prajurit menunduk dan terdiam. Tapi zaman ini al Qur'an hanya sebagai simbol. Tidak ada sanksi apapun di sana. Kalimat sumpah sendiri tidak lebih dari sebuah formalitas yang dilembagakan. Dari sana kita sudah pernah dengar atau melihat dari layar kaca ada beberapa pejabat yang bersumpah untuk menghukum dirinya saat ia tertangkap melakukan korupsi. Tapi hingga saat ini anda bisa menebaknya. Ia tak memenuhi sumpah dan janjinya, kecuali bualan omong kosong belaka.  Padahal menurut Agung Y. Achmad, sumpah merupakan peristiwa bahasa, yang melibatkan ingatan publik. Dalam hal ini rakyat pasti akan selalu ingat dan tak akan melupakan sebelum mereka sendiri yang akan menagihnya. Tapi bagi rakyat yang tak tau menahu soal ini, pejabat korup itu bisa terpilih kembali saat pemilu dilangsungkan. Aneh memang negeri kita ini.

Rakyat memang selalu menjadi ladang, tempat para politisi ngibulin. Maka pantas saja jika Buya Syafi'i Ma'arif pernah berpesan bahwa "jangan jadi politisi sebelum kamu mampu dan cukup dalam urusan keuangan keluarga dan jangan jadikan panggung politik itu untuk mengais rejeki". Pesan itulah yang seharusnya menjadi cambuk buat kita bahwa untuk menggapai kekuasaan diperlukan niat yang jernih. Dalam bahasa anekdot jika jadi politisi jangan modal senyum tapi modal nilai, meminjam istilah Daoed Joesoef, punya konsep. Seberapa berharganya diri kita di masyarakat tentu dilihat seberapa besarnya perjuangannya untuk masyarakat.

Masyarakat sudah terlalu lelah untuk terus dibodohi. Mereka hanya terus diiming-imingi janji manis tanpa pernah terbukti. Sumpah yang mereka lafalkan dengan khusyuk itu hanya sebuah seremonial tanpa arti. Bahkan saat tertangkap tangan melakukan misalnya, korupsi, suap, penyelewengan, penyalahgunaan jabatan, mereka segera menutup diri. Bahkan di depan persidangan mereka akan menghias diri dengan unsur religi. Kopiyah, kerudung atau simbol agama lain selalu menghiasi saat persidangan. Wajah seolah tak bersalah dan memang berkedok agama. Bahkan agama dan hukum bisa dibeli. Sungguh ironi memang negeri ini. Kejujuran begitu mahal dan langka. Maka tak salah jika Bung Hatta berpesan, "kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur sulit diperbaiki."

Saat ini yang kita butuhkan adalah contoh dari atas, sehingga bisa menjalar dan menjadi teladan terhadap masyarakat. Keteladanan itu sendiri diukur bukan dari apa yang ia katakan atau seberapa nilai yang dihitung, tapi dari kinerja aplikatifnya. Pepatah lawas sudah sering mengingatkan bahwa "yang tersulit dari hanya berkata adalah aksi nyata". Dulu Perdana Menteri China pada 1998, Zhu Rongji menyatakan, "berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor. Satu buat saya sendiri jika saya pun melakukan hal itu". Jika perlu, setiap pimpinan lembaga negara, dan presiden menyiapkan peti mati, sebagai komitmen untuk tidak melakukan korupsi. Janji tetaplah janji, sumpah tetaplah sumpah. Sesungguhnya keduanya hanya bisa mengelabui mata. Dan hakikatnya memiliki dualitas yang serius di lisan tapi ambiguitas di kehidupan nyata.

Persoalan sumpah mungkin kita ingat dengan Sumpah Palapa yang digaungkan oleh Mahapatih Gajahmada. Sumpah yang diucapkan lahir batin sebagai komitmen politik itu bermakna bahwa ia tak akan memakan Palapa (istirahat), sebelum ia menyatukan Nusantara. Sumpah itu dilakukan oleh Gajahmada dari dirinya sendiri tanpa perlu bimbingan tokoh agama dan janji yang bersifat pemanis. Walau pada kenyataanya Gajahmada tak dapat mewujudkan sumpahnya itu, setidaknya ia dikenang sebagai mahapatih yang gemilang di kerajaan Majapahit.
Sumpah memang selalu dimaknai sebagai pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya). Sebab unsur materiil dari sumpah itulah yang paling nampak sebagai nilai tanggungjawab yang teramanatkan. Sumpah itu pula yang membuat seseorang dapat bersatu. Contohnya adalah peristiwa Sumpah Pemuda. Peristiwa itulah yang kita kenang sebagai keputusan Kongres Pemuda Kedua yang diselenggarakan dua hari, 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Keputusan ini menegaskan cita-cita akan ada tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia. Sebuah sumpah dan komitmen yang tinggi untuk menggapai Indonesia merdeka. 

Di hadapan sumpah kadang kita dibuat merinding mendengarnya. Betapa tidak, sumpah adalah jalinan saling mengikat agar kekuatan kepercayaan melahirkan keyakinan. Dulu mungkin saat kita hidup di zaman sumpah pemuda tentu rasanya begitu haru, menyaksikan momen bersejarah itu. Di masa kini sumpah malah menjadi ajang pembuktian kebenaran. Kita mungkin masih ingat saat panasnya kontestasi politik pada Pilpres 2019 kemarin. Banyak orang yang melakukan sumpah mubahalah dan ada juga dengan sumpah primitif seperti sumpah pocong. Sumpah yang mereka lakukan itu bahkan di hadapan kitab suci yang lebih dari satu, di hadapan media dan disaksikan banyak orang. Hal ini bisa menjadi ngeri ketika hal itu benar-benar tidak terbukti. Tapi memang nyatanya beberapa masyarakat kita telah terputus urat kemaluanya. Dan hal inilah yang terjadi.

Atas dasar emosional dan pandangan yang berbeda orang-orang segara ambil langkah seribu, menentukan keputusan atas sebuah hukum atau menghakimi secara sepihak. Dunia seperti sudah final di atas orang-orang yang bersumpah. Padahal unsur absolut sumpah akan terasa yakin karena siapa yang mengucapkannya. Perkara sumpah memang bukan untuk mainan, tapi perkara kesungguhan. Aristoteles membahasakanya dengan etos. Orang akan percaya saat yang mengucapkan sumpah itu memiliki etika bicara, menjunjung tinggi kredibilitas dan moral berkualitas.
***
Tidak hanya urusan politik, negara, ruang demokrasi, kekuasaan dan lainya. Perihal cinta pun barangkali menjadi penting jika diringi dengan sumpah. Walau kadang tak jauh berbeda dengan para politisi yang sering ngibulin. Para pecinta pun sering menjatuhkan korbannya, meminjam bahasa milenial adalah sobat ambyar. Khususnya para bucin anyaran yang baru saja diputusin pacaranya. Maka dari itu lagu-lagu the Goodfather of Broken Heart laku keras dikalangan anak muda. Setidaknya lagu Didi Kempot itu bisa mewakili perasaan mereka yang dikhianati sumpah dan janjinya. Dari peristiwa itulah kita sedikit paham bahwa hal yang terdekat dari para pembuat janji manis bahkan sampai bersumpah adalah ingkar janji. Walaupun tidak semua orang mengingkari sumpahnya, setidaknya kita bisa berkaca lewat janji yang bisa disebut sumpah asli atau terkesan palsu. Para barisan sakit hati tentu lebih paham soal ini.

Sumpah tidak selalu dipandang negatif, atau hitam putih. Ia juga merupakan entitas yang membentuk mentalitas menjadi motivasi agar seseorang berusaha gigih mewujudkan cita-citanya. Di masa primordial misalnya, manusia pernah berikrar bahwa Allah adalah Tuhan mereka, akan tetapi saat kehidupan berlangsung hal itu akan menjadi berbeda lagi. Sebab tergantung dari rahim siapa ia dilahirkan. Seseorang yang ingin mencari beasiswa misalnya, karena keterbatasan ekonomi langkah mereka begitu gigih. Walau tanpa diucap melalui lisan setidaknya hati telah bersuara bahwa mereka bersumpah untuk mewujudkanya pantang menyerah. Sumpah janji sesungguhnya mengandung nilai dalam hati terkait anti pengingkaran. Mentalitas yang telah menjadi karakter itu bisa sangat mungkin untuk menjadi sumber energi besar dalam mewujudkan sesuatu.

Salah satu perjanjian yang ternilai bobotnya ialah tentang apa yang pernah diucapkan Bung Hatta pada masa penjajahan dulu. Bung Hatta mungkin bisa menjadi cermin yang dapat direflesikan dalam kehidupan. Dalam buku "Seratus Tahun Bung Hatta" yang ditulis oleh Meutia Farida Hatta, tercantum jika Bung Hatta sudah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia sejak muda. Karena kepeduliannya yang besar inilah, ia bersumpah tidak akan menikah selama Indonesia belum merdeka. Hal itu bukan isapan jempol semata. Bung Hatta sempat mengenal beberapa wanita cantik pada masa itu. Namun karena komitmen pribadinya yang tinggi, Bung Hatta terbukti baru menikah setelah kemerdekaan diraih. Pada saat itu beliau berusia 41 tahun. Itupun atas saran dan makcomblangnya Bung Karno. Jika tidak didorong oleh Bung Karno yang juga sahabatnya itu, rasanya Bung Hatta tak akan kenal dengan wanita.

Dalam cerita epos Mahabarata kita juga menemukan cerita mengenai Dewabrata yang tidak ingin menikah selama hidupnya. Ia bersumpah untuk tidak mewarisi takhta Hatsinapura, dan menyerahkan hak tersebut kepada keturunan Satyawati. Sumpahnya itu bertujuan agar ia tidak memiliki keturunan demi menghindari perebutkan tahta kerajaan. Hingga akhirnya Satywati diserahkan kepada Santanu, ayahnya. Karena pengorbanannya itu Dewabrata diberi nama Bisma oleh ayahnya, agar ia mampu bersahabat dengan Sang Dewa Waktu sehingga ia bisa menentukan waktu kematiannya sendiri. Sumpah itulah yang mengandung pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita jikalau pernyataan itu tidak benar.
Sumpah atas nama cinta tak lain merupakan komitmen yang dijunjung tinggi untuk meyakinkan diri sendiri dan orang lain bahwa esok seseorang mampu menggapai apa yang telah mereka sepakati sebagai dua orang insan. Sumpah tak akan berlaku bagi mereka yang berpaham skeptis. Menurut skeptisme semakin banyak perjanjian maka semakin kecil pula kenyataan yang akan diterima. Berbeda lagi dengan pengikut Fromm bahwa cinta dan janji adalah persoalan ruang keyakinan. Semakin seseorang yakin dengan komitmen yang dibuatnya, maka semakin besar pula cita-citanya akan terwujud.

Sumpah adalah dimensi kata yang dapat membuat seseorang percaya akan ucapanya. Kepercayaan itu yang kadang disalahartikan sebagai sebuah kesungguhan. Secara psikologis kesungguhan memang selalu diuji. Maka dari itu peradaban kita mengenal kata sumpah. Kata yang dapat menakar kebenaran versus kebenaran lain sehingga orang jadi yakin siapa yang salah. Mungkin suatu saat kepercayaan itu akan luntur. Sehingga jangan mudah mempermainkan kata sumpah jika tak akan menjadi bumerang kepada diri sendiri. Sumpah juga merupakan alat ukur yang ampuh seberapa jujurnya seseorang dalam berbicara. Dalam bahasa psikologi, hal itu bisa terbaca lewat ekspresi.

Pada diri individu pasti sepanjang perjalananya akan menemui kata sumpah itu. Tanpa sadar mereka akan melaluinya dan yang pasti akan mengingatnya seumur hidup. Mereka akan meyakinkan diri sendiri untuk bersiap bersumpah di depan penghulu, atas nama Tuhan dan Nabi melalui syahadat. Melalui ijab, juga tanda tangan dan mahar. Mereka benar-benar akan mengadapi kenyataan bahwa kita telah menikah. Dan sumpah itulah yang akan dipegang erat sehidup-semati. Disaksikan para saksi dan cincin emas yang melingkar di jari manis. Anda siap bersumpah mblo? qobiltu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde