Langsung ke konten utama

Kaos Oblong, Politik dan Agama


"Sesungguhnya apa yang kau kenakan telah mengandung arti tersendiri. Semua tergantung siapa yang menterjemahkanya"

Woks

Sekitar akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 kaos oblong muncul. Orang-orang menyebutnya sebagai pakaian dalam. Sehingga kaos oblong tidak diperhitungkan dalam mode fashion sehari-hari. Secara historis kaos oblong dikenal pertama kali pada masa perang dunia II. Pada saat itu tentara Eropa mengenakan kaos oblong sebagai pakaian dalam karena flesibelitasnya. Karena bentunya seperti huruf T mereka menyebutnya T-shirt. Kaos oblong mulai dikenal ke seluruh dunia lewat John Wayne, Marlon Brando dan James Dean melalui film-film yang mereka bintangi.

Kini kaos oblong sudah menyebar keseluruh dunia. Namun keberadaanya masih dikesampingkan dalam kancah mode fashion setiap hari. Alasanya karena kaos oblong merupakan pakaian dalam yang biasanya dipakai sebagai bahan rangkap penyerap keringat. Kaos oblong sesungguhnya merupakan sebuah gerakan dari low fashion ke hight fashion. Gerakan itulah yang sesungguhnya mengilhami banyak hal berkaitan dengan pengakuan dan politik. Seperti halnya saat musik Heavy Metal mulai digemari oleh anak muda, saat itulah mereka memilih kaos oblong sebagai seragam dengan maksud bentuk penolakan terhadap konvensi arus utama mode dunia. Mereka menganggap bahwa kaos oblong juga pantas untuk dikenakan sebagai pakaian luar.

Kaos Oblong, Media Komunikasi Politik dan Agama

Saat kaos oblong bisa diterima di tengah-tengah masyarakat. Saat itulah orang-orang mulai sadar bahwa dengan kaos oblong mampu menyampaikan informasi yang mereka inginkan. Selain praktis tentunya harganya murah. Para elit misalnya, mereka menyampaikan visi misi melalui tulisan yang tertera di kaos oblong. Biasanya tulisan tersebut dibubuhkan di bagian punggung atau bagian depan (dada). Tulisan-tulisan itulah biasanya mengandung unsur kampanye, persuasi, dan tentunya iklan komersil. Anggapan itulah yang menjadi salah satu jurus memikat hati khususnya kalangan akar rumput agar mau ambil bagian dalam tim sukses kolektif. Secara tak sadar tukang becak, supir angkot, petani, nelayan dan pekerja buruh bisa dengan mudah mengenakan kaos oblong itu tanpa pernah tau apa maksudnya.

Memang sejak awal pergerakanya kaos oblong membawa pesannya tersendiri. Kaos tersebut mengandung makna politik yang menggalang dukungan, basis massa, identitas, komersil dan prestise kebanggaan. Kecanggihan teknologi ikut meramaikan pergerakan revolusi dari kaos oblong. Hal itu terbukti dari variasi bahan, cara sablon, serta merk dagang. Semakin terkenal dan terbaru kaos yang dikeluarkan oleh salah satu merk dagang, maka semakin mahal pula harganya. Hal itu menjadi strata identitas dari pembelinya. 

Kaos oblong merupakan bagian dari budaya visual. Sehingga dengan adanya budaya visual dan ketambahan kecanggihan teknologi perkembangan sosial terasa pengaruhnya kesetiap lapisan masyarakat. Salah satu pengaruh yang begitu kentara saat ini adalah tentang politik dan keagamaan. Ahli budaya visual religius David Morgan (1998) menyatakan bahwa imaji-imaji visual cukup menarik untuk dikaji. Dia berpendapat bahwa yang penting dalam visual culture bukan ada atau tidak ada objek visual itu, tetapi imaji visual sebagai sebuah struktur yang menyebar secara sosial. 

Menurut Morgan (2008) perkembangan kajian tentang hubungan antara agama dan media sangatlah berkembang pesat. Oleh karena itu, jika dipelajari secara mendalam, media yang membentuk budaya visual tidak hanya menjadi penglihatan semata, tapi kita pun tahu dampak-dampak di bawah budaya visual yang sangat luarbiasa pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat. Pada saat yang sama di Prancis, Émile Durkheim menulis tentang pentingnya budaya material dalam memahami masyarakat. Durkheim melihat budaya material sebagai salah satu fakta sosial yang berfungsi sebagai kekuatan koersif untuk mempertahankan solidaritas dalam masyarakat. 

Mengenali perasaan lewat status simbolik. Kita pernah diramaikan dengan tagar #2019gantipresiden melalui media sosial dan tentunya media kaos oblong. Peperangan di arena politik memang selalu ramai diperbincangkan. Sejak pilpres 2014, pilgub DKI 2017 dan pilpres 2019 arena bawahlah yang potensi perpecahanya begitu besar. Melalui kaos saja seseorang mampu mengklaim diri sebagai bagian dari sebuah kelompok tertentu. Sehingga kaos dapat menjadi tanda sekaligus mengklaster individu ke sebuah kelompok. Peperangan kata tak terelakan, semua merasa diwakili oleh apa yang mereka kenakan. Sehingga hal-hal yang remeh-temeh mampu menjadi api dalam kontestasi politik. Seseorang bisa dengan mudah dikambing hitamkan atau dimusuhi cuma karena memakai kaos yang berbeda.

Kaos oblong sebagai atribut visual menjadi salah satu media efektif untuk membentuk ruang ideologis. Hal itu sebenarnya merupakan sebuah pertarungan identitas visual, sebagaimana yang diungkapkan Dick Hebdige (1999) tentang sebuah perlawanan terselubung yang sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1970-an. Tidak hanya kaos oblong, atribut yang menyimbolkan kekuatan politik tertentu dan agama selalu saja menyimpan daya ledak yang kuat untuk menghegemoni rakyat. Bahkan yang paling ironis ialah saat institusi ulama atau agamawan melemah, saat itulah waktu yang tepat untuk saling memanfaatkan. Fenomena memanfaatkan dan dimanfaatkan begitu tampak jelas. Seseorang dengan sangat mudah menampakan dengan melunturkan agama yang telah lama diyakininya. Sehingga sistem keyakinan seseorang dalam prakteknya sangat mudah dibeli cuma karena nafsu perut sesaat. Meminjam bahasa Adorno, bahwa industri budaya memang begitu sukses memanfaatkan masyarakat yang telah kehilangan pengetahuan dan kesadaranya. Mungkin, termasuk industri clothing ini.

Kaos oblong, uang dan iming-iming memang telah mengaleniasi banyak orang tentang sebuah kebahagiaan semu, terutama saat kampanye sebagai sebuah efouria demokrasi. Alih-alih memperjuangkan rakyat, nyatanya semua itu hanya ilusi. Namun pada kenyataanya gerakan-gerakan sub kultur yang menonjolkan ikon-ikon visual dalam bahasa satire dan cenderung kontroversial telah sukses menggiring masyarakat untuk setidaknya terpengaruh. Menurut Soerjanto Poespawardoyo, masyarakat sangat mudah dikendalikan pola pikirnya karena pengaruh hukum-hukum teknologi. Salah satu hukum teknologi ialah bersifat manipulasi. Teknologi memang memiliki kekuatan manipulasi yang mampu menyihir seseorang ke dalam imajinasi yang diinginkan. Sehingga dalam sistem ekonomi disebut sebagai kepentingan iklan dan sebuah propaganda. Mulai sekarang seharusnya masyarakat lebih cerdas lagi dalam mengambil keputusan. Jangan sampai kaos dan simbol-simbol yang mencirikan identitas tertentu mengadu domba ketenangan masyarakat. Jangan sampai mereka mengambil alih sebuah konstruk sosial yang telah lama dibangun bernama "guyub rukun".

Sesungguhnya semangat kaos oblong adalah semangat santai. Akan tetapi karena kondisi politik kaos oblong menjelma komunikasi dua arah yang saling meruncing. Kaos oblong dengan segala interpretasinya tidak hanya mengkomunikasikan lokasi atau identitas sosial melainkan klaim kekuatan politik tertentu. Walau bagaimanapun kaos oblong membawa pesan tersendiri termasuk selera pemakainya. Ia merupakan upaya menolak dari pendisiplinan gaya. Kaos tetaplah kaos sedangkan misi di dalamnya merupakan hak dari si pemakai. 

Pada akhirnya kaos oblong yang hanya pakaian dalam itu, sekarang mulai diakui sebagai pakaian yang boleh tampil ke publik. Kaos oblong akan terus mengikuti zamanya. Tidak hanya laku sebagai lahan basah ekonomi, ia juga akan terus bergerak menjadi simbol perlawanan kelas bawah tentang sebuah style. Kini kamu berhak atas penampilanmu sendiri. Indentitas, tanda, misi atau politik itu sendiri hanya sekedar unsur ekstrinsik belaka, selebihnya kaos oblong adalah milik kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde