Langsung ke konten utama

Ujian di Rumah Sebuah Lelucon

              (Sumber gambar Canva.com)
Woks

Saat ini banyak anak-anak khusunya di sekolah dasar sedang melangsungkan ujian tengan semester (UTS). Karena wabah virus corona maka pemerintah mengintruksikan untuk merumahkan siswa agar pembelajaran dipindah ke rumah masing-masing. Hal itu tentu bertujuan agar memutus mata rantai penyebaran virus corona yang siklus penyebaranya bisa diamati sekitar waktu 14 hari.

Kita mungkin paham bagaimana sulitnya mendidik anak, khususnya para orang tua yang tidak memiliki basic pendidikan yang baik. Maka hikmah dari corona ini anak-anak dididik langsung oleh orang tua melalui tugas yang diberikan sekolah. Di rumah itu anak-anak diajari bagaimana menerapkan aktivitas pendidikannya percis di sekolah. Seperti pelaksanaan ngaji, hafalan, praktek shalat, wudhu, dan menjawab soal semua di bawah kendali orang tua. Terkhusus yang sedang melaksanakan ujian, di sana akan kita dapati berupa ujian soal dan ujian kejujuran. Hal terakhir itulah yang kadang tidak bisa dilaksanakan dengan baik.

Ujian sekolah merupakan salah satu penilaian kelulusan bagi anak. Walaupun indikator nilai sebagai penentu kelulusan bukanlah faktor utama. Terutama di rumah pasti sistem pengawasan tidak akan seketat di sekolah. Konsep seperti inilah yang sebenarnya kurang pas, jika bukan karena corona. Ujian di rumah seperti sebuah lelucon karena kadang seorang guru atau wali kelas memantau aktivitas hanya via online. Itupun kita dapati berbagai temuan perilaku orang tua atau siswa yang kadang perlu ditertawakan.

Ada anak yang ingin menyontek saat ujian berlangsung, termasuk mengerjakan dengan cepat sebab mereka ingin segera bermain. Ada orang tuanya yang belajar dan mengajari si anak karena takut nilainya kecil. Bahkan ada yang dikerjaan oleh orang tua karena alasan si anak merengek menangis. Serta masih banyak lagi serangkaian perilaku anak dan orang tua itu. Sehingga dalih apapun persoalan itu hanya bisa dimaklumi saja. Sebab bagaimanapun penilaiannya ada pada si guru. Ia bahkan lebih tahu jumlah siswa plus karakter dan keseharianya selama di sekolah.

Seharusnya dengan fenomena corona dan anak-anak yang pembelajarannya di rumahkan, orang tua harus lebih sadar mungkin inilah salah satu pendidikan dari Tuhan. Bagaimana supaya peran orang tua, kedekatan secara emosional harus hidupkan lagi. Selama ini ketimpangan cara mendidik terjadi dan orang tua hanya berpangku tangan kepada guru. Padahal ada sistem yang harus terintegrasi yaitu antara anak, orang tua dan guru. Jika semua itu bisa diperhatikan dengan baik maka tak mustahil jika anak akan menikmati proses belajarnya tanpa pernah merasa ditekan. Sungguh dari corona ini kita mendapat hikmah yang besar. Belajar bersabar, jujur, dan meluangkan waktu buat si anak belajar. Semoga kita bisa tersadar akan pentingnya Tuhan mendidik kita lewat alam.

Komentar

  1. Inspiratif,,terus asah bakatmu smoga tercapi tujuan hidupmu..smangat..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde