Langsung ke konten utama

Pemuda Milenial

Woks

Buku antologi "Pemuda Milenial" ini merupakan kumpulan tulisan dari berbagai kalangan yang terhimpun dalam sebuah event yang diselenggarakan oleh FORKOMSI UGM tahun 2019. Dengan penerbit Jejak publisher Sukabumi Jawa Barat. Buku tersebut merupakan hasil seleksi beberapa bulan selama masa sayembara dengan peserta kurang lebih 949 orang dan terpilih 60 orang penulis saja sebagai kontributor.

Para kontributor buku tersebut terdiri dari berbagai kalangan mulai dari siswa SMA, mahasiswa, praktisi, pekerja kantoran, sampai akademisi dan profesional. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia mulai dari pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan hingga Sulawesi. Isi dalam buku tersebut tentu opini seputar tema pemuda milenial. Buku tersebut menjadi menarik karena kumpulan tulisan tersebut sangat bervariatif isinya.

Isi buku tersebut ialah seputar pemuda milenial yang sedang merespon berbagai tantangan di kemudian hari. Banyak sekali tulisan opini dalam buku ini yang menarasikan peran pemuda milenial dalam memainkan percaturan dunia global terutama lewat media. Menurut sebagian penulis pemuda yang kelahiran tahun 90-an sampai dengan era milenium 2000-an merupakan ketegori pemuda milenial atau generasi Z. Merekalah yang berpikiran modern untuk terus maju melihat zaman sebagai peluang atau tantangan.

Tulisan ini pula yang melihat bahwa sektor-sektor yang akan dipegang oleh generasi Z itu akan sangat luas. Karena mereka akan menggantikan peran generasi tua (old). Termasuk melihat sejauh mana potensi milenial dalam merespon arus politik yang sedang bergulir dalam suatu negara. Mereka setidaknya sudah mampu memilah dan memilih apa tindakan yang dilakukan. Hal ini yang menjadikan generasi Z tersebut telah cerdas dalam menentukan sikap. Mungkin secara psikologis mereka memang membawa sikap kritis dan rasa ingin tahu yang tinggi.

Selain itu yang tidak dikesampingkan pula ialah soal sosial dan budaya. Bukan hanya soal teknologi, politik, dunia kerja, atau fashion lain yang mendekati pemuda, persoalan sosial budaya pun mereka berdayakan. Karena sosial budaya tersebut sebagai identitas dan jatidiri bangsa. Hal itu terbukti dengan masih memegang erat salah satu kebudayaan tradisional yang berkembang di masyarakat. Yang paling penting adalah kemauan untuk terus belajar dan melestarikan. Sebab generasi tua telah mewariskan kemerdekaan dan saat ini tugas generasi muda adalah mempertahankan dan mengisinya.

Walaupun buku ini adalah sekumpulan opini akan tetapi gaya bahasa dan tulisanya tidak dianggap remeh. Sebab di sana juga tertera banyak data, survei, serta angka-angka pendukung lain yang tentu bisa menjadi referensi bagi kaum muda dalam merespon zaman yang kian berganti ini. Intinya peran-peran mereka sudah sangat diperlukan untuk ikut bersama-sama dalam upaya kemajuan bangsa. Maka tak heran jika dari dulu Ir Soekarno menggaungkan jargon "berilah aku 10 pemuda niscaya akan ku guncang dunia". 

Dari tulisan inilah kita akan diajak menyusuri peta pemikiran pemuda milenial yang dinamis. Kita akan melihat seberapa kuatnya mentalitas mereka dalam memanfaatkan momen di tengah revolusi industri yang sudah bergulir termasuk era digital, era disrupsi, era pasar bebas, dan juga sejak lama MEA (masyarakat ekonomi asean) berlaku. Tentu harapan dari semua itu ialah, apakah pemuda akan kendor dengan zona nyamanya ataukah terus maju memupuk sumberdaya manusia. Sehingga jika pemuda bersemangat dalam kemajuan tidak mustahil suatu bangsa akan kuat seperti benteng, yang menjadi penghubung seperti jembatan emas kepada rakyat dan menjadi mercusuar bagi peradaban dunia. Semoga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde