Langsung ke konten utama

Musafir Ilmu

Woks

Latar belakang buku

Awal dari perjalanan buku "Musafir Ilmu" ini ialah saat mahasiswa Indramayu semakin banyak secara kuantitas yang berkuliah di kampus IAIN Tulungagung. Dari sanalah ide untuk membuat sebuah buku antologi yang gunanya untuk memompa semangat literasi digagas sekitar satu tahun lamanya. Selain itu buku tersebut berguna untuk memotivasi adik-adik di desa kami agar tergerak untuk kuliah. Buku tersebut memiliki harapan bahwa bagi mahasiswa kegiatan akademik merupakan sebuah keharusan dan tanggungjawab. Dari sanalah buku itu hadir dan menjadi sebuah kisah yang asyik untuk di baca.

Isi Buku

Buku "Musafir Ilmu" tersebut berisi kisah perjalanan mahasiwa Indramayu yang melanjutkan kuliah di Jawa Timur tepatnya di kampus dakwah dan peradaban IAIN Tulungagung. Dalam buku tersebut ada sekitar 40 lebih kisah yang ditulis oleh mahasiswa dan alumni serta dosen yang hidup dalam perantauan. Baik yang sudah terjun ke masyarakat maupun yang sedang berproses semua mengkisahkan ceritanya sesuai dengan pengalaman masing-masing.

Karena berlatar belakang yang hampir sama setidaknya mereka tetap memiliki asa untuk meraih cita-cita. Salah satu energi yang memotivasi mereka adalah menolak menyerah pada keadaan. Kata-kata itulah yang membuat spirit dalam perantauan menjadi kekuatan. Secara realitas menjadi perantau itu pasti siap menahan segalanya termasuk rindu akan kampung halaman. Akan tetapi jika semua hal dilakukan bersama rasa itu perlahan sirna. Kesedihan, air mata, putus asa, kesepian dan kerinduan hanya menjadi bumbu pelengkap. Sedangkan usaha yang gigih, harapan, cita-cita dan masa depan merupakan hal yang utama. Sebab bagi mereka masih ada orang-orang yang ingin mereka bahagiakan. 

Musafir Ilmu sendiri tak lain merupakan arti kata bahwa berjalan jauh ini tidak dalam ruang hampa. Perjalanan ini sesungguhnya sedang dalam pencarian ilmu. Karena ilmu akan mampu menyalakan lentera masa depan. Sekalipun jarah teramat jauh dan waktu begitu lama jika semua karena tekad kuat dan ilmu segala rintangan patah semua. Buku tersebut sesungguhnya mengajak kepada siapa saja yang sedang menimba ilmu tak perlu risau, resah gelisah. Nikmati saja prosesnya dan jangan berpikir tentang hasilnya.

Salah satu sisi menarik dari buku ini adalah ditulis oleh generasi yang berbeda. Sehingga tepat sekali untuk mewakili keadaan waktu yang bervariatif. Generasi tua menekankan pentingnya proses tahap demi setahap seperti berjuang meraih, meraih mempertahankan dan mempertahankan untuk diisi. Generasi pertengahan menekankan pentingnya berproses dan berjejaring. Sedangkan generasi baru bercerita tentang harapan dan masa depan. Semua itu terangkum apik dalam buku tersebut.

Tak kalah pentingnya, buku ini ditutup dengan sebuah adagium "jangan sampai kacang lupa kulitnya". Adagium tersebut menjadi pengingat tersendiri bagi para perantau untuk tidak melupakan hal-hal yang pernah ia lewati termasuk berkenalan dengan siapa saja sejak dikampungnya. Sehingga sejauh apapun tempatnya kini jangan sampai lupa kampung halaman sebagai tempat kembali. Terakhir yaitu jangan lupa salah satu tugas kita adalah "mikul nduwur mendem jero" artinya seseorang sedang membawa nama baik orang tua, jadi buatlah mereka bangga dengan peran kita sebagai mahasiswa. Jangan sampai mengecewakan orang-orang yang telah memiliki harapan besar terhadap anaknya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde