Woks
Indonesia adalah negara latahan dan gumunan. Warganya mulai ramai lagi membincang LGBT. Padahal LGBT sudah ada sejak tahun 90-an, yaitu sebuah frase untuk menggantikan sebuah komunitas gay atau juga homoseksual. Istilah ini ramai lagi bagai gorengan hangat, digoreng dadakan, lima ratusan haluu. LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) atau kekinian menambahkan dengan Q n I (queer n interseks) memang masih sangat kontroversial dan belum diterima oleh masyarakat kita. Sebagai negara yang mewarisi adat ketimuran, tentu Indonesia masih alergi dengan kehadiran komunitas ini. Anggapan tersebut tentu berdasar bahwa perilaku tersebut termasuk kategori penyimpangan. Sehingga masyarakat masih meyakini bahwa LGBT merupakan penyakit yang harus ditangai oleh pihak medis. Dan mereka yakin hal itu bisa disembuhkan.
Identifikasi sederhana mengapa LGBT begitu ramai lagi dipertentangkan setidaknya ada dua alasan; pertama, politik dan kedua, usaha legalitas. Identifikasi pertama bisa kita lihat dari siapa tokoh politik yang akan maju sebagai salah satu calon pengampu kebijakan, baik sejak di legislatif hingga ke eksekutif. Rekam jejak perpolitikan saat ini tentu memanfaatkan atau dimanfaatkan oleh kelompok tertentu, guna menyampaikan aspirasinya di parlemen. Hal kedua yang selalu ramai dari LGBT ini ialah karena keinginan untuk melegalkan kehidupan dalam lingkaran LGBT tersebut. Masyarakat Indonesia memang belum menerima kehadiran LGBT lebih lagi pernikahan sejenis. Walaupun konstitusi dasar Indonesia adalah menghormati semua hak warganegara. Alasan lainya karena Indonesia bukan negara sekuler dan masih mempercayai adanya Tuhan melalui pemeluk agama.
Dengan demikian LGBT lalu berada di mana?termasuk kategori permasalahan apa? Permasalahan sosial, permasalahan mental atau memang sebagai pilihan hidup lebih tepatnya orientasi seks. Orientasi seks itu terlahir oleh berbagai faktor yaitu, lingkungan, hereditas, trauma masa lalu dan pengaruh teknologi. Secara alamiah LGBT tidak diinginkan oleh siapapun, akan tetapi faktor keturunan memang mewarisi hal itu. Selebihnya pengaruh lingkungan, traumatik dan teknologi juga faktor yang potensial untuk membentuk LGBT itu. Dan menurut psikolog LGBT termasuk penyimpangan seksualitas.
LGBT sendiri merupakan permasalahan yang komplek, apalagi hidup di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya belum mampu memahami dengan utuh tentang LGBT ini. Mereka mengira bahwa LGBT merupakan penyakit seksual, penyakit mental dan penyakit yang selalu dihubungkan dengan orientasi seks serta fantasinya. Sehingga dalam beberapa survei masyarakat masih menganggap bahwa LGBT itu salah, serta mereka menyarankan untuk mendapat perawatan medis. Bahkan ada yang mengatakan bahwa LGBT merupakan gangguan kejiwaan. Yang terakhir inilah yang menjadi problem. Jika demikian apa bedanya dengan orang gila yang tak berakal? Tentu definisi ini tidak menguntungkan bagi salah satu pihak.
Masyarakat menyebutkan LGBT sebagai penyakit yang perlu disembuhkan karena standarisasi sehat menurut mereka ialah meliputi sehat jasmani, mental dan sosial. Sedangkan selama ini perilaku LGBT masih merupakan permasalahan sosial yang meresahkan. Mereka menginginkan pernikahan sesama jenis, pergaulan bebas, dan perlindungan untuk tampil di muka umum. Persoalan inilah yang tentunya kontrakdiktif dengan budaya dan agama yang berlaku.
Benturan dengan agama lagi-lagi soal fitrah dan disandarkan pada contoh kaum Nabi Luth (kaum Shodom) yang diazab oleh Allah swt karena melakukan prakter penyimpangan seksual dengan melakukan hubungan seks sesama jenis. Termasuk dalam tradisi Katolik dan beberapa agama lain tidak membenarkan dengan adanya pernikahan sesama jenis itu. Agama hanya mentolelir hubungan yang tadinya dilarang (haram) menjadi halal atas dasar pernikahan yang sah. Walau demikian simpang siur terkait LGBT masih belum dipahami lebih oleh pemeluk agama itu sendiri lebih-lebih pada pelaku. Orang mengira bahwa LGBT termasuk sumber menularkanya virus jika sampai terjadi hubungan seks. Padahal hubungan heteroseks dalam pernikahan yang halal pun memiliki potensi yang sama untuk terjangkit virus kelamin.
Selain agama, tradisi dan budaya pun tidak mentolerir adanya pernikahan sesama jenis. Budaya hanya mewadahi siapa saja sebagai insan budaya, termasuk juga seniman. Siapa saja boleh menjadi seniman, budayawan atau siapapun tanpa memandang kelamin. Tapi lagi-lagi masyarakat meyakini bahwa LGBT merupakan virus western yang terbawa ke Indonesia. Walaupun disinyalir perilaku yang demikian juga ada dalam kebudayaan kita.
Salah satu contoh pada tari lengger lanang dari Banyumas merupakan tarian yang dilakukan oleh laki-laki yang merepresentasikan seorang perempuan. Tarian ini membuat geger publik kita saat ini dengan diangkatnya ke layar lebar melalui film "Ku Cumbu Tubuh Indahmu" karya sutradara Garin Nugroho. Di Pantura khususnya wilayah Cirebon-Indramayu juga ada tarian bernama Sintren. Dulu tarian itu merupakan sebuah bentuk tarian yang dilakukan oleh anak gadis dengan tujuan persembahan untuk memintakan hujan, tapi seiring berjalanya waktu kini tarian itu juga dilakukan oleh seorang laki-laki, lengkap dengan atribut kefeminimanya. Tidak hanya di Jawa, di suku Bugis juga dikenal dengan Calabai yaitu seorang laki-laki yang menyerupai perempuan atau sebaliknya yaitu Calalai. Corak dari kebudayaan itu sendiri tidak lain merupakan bentuk bersatunya dua unsur gender pada satu tubuh. Pilihan akan orientasi seks inilah yang pengaruhnya bisa dilihat sejak usia 3 tahun masa pola asuh anak.
LGBT sampai pada gerbang pintu hukum?
Di titik nadir, hukum selalu tak mampu memayungi berbagai macam hak, salah satunya kasus LGBT ini. Hukum selalu nampak transaksional. Padahal selama ini hukum di Indonesia menganut asas Bhinneka, yang artinya semua sama di mata hukum. Tapi faktanya penegak hukum kita belum menempatkan keadilan pada porsinya. Negara sebagai sebuah institusi tertinggi selalu gagal paham dalam mengartikan LGBT ini. Kita mungkin hanya mengutuk perilakunya tapi tidak membenci orangnya. Dalam hal ini seharusnya negara tidak lebih jauh mengatur persoalan privat dari tiap individu. Negara cukup memperlakukan mereka layaknya manusia, bahkan bila perlu sediakan ruang edukasi, diskusi dan rehabilitasi.
Titik akhir dari semua pertemuan redaksional itu? pelangi memang telah luntur. Mereka selalu terpinggir tanpa pernah di dengar. Menangis tanpa pernah diratapi. Sampai kapapun mereka tak akan pernah di dengar. Sebenarnya yang mereka perjuangkan adalah bukan soal legalitas, tapi lebih kepada diberikanya pengertian, perlindungan, diberinya wadah serta memberi peluang atau akses agar sama dengan yang lain terutama dalam pekerjaan. Hingga saat ini upaya advokasi tidak selalu berjalan mulus. Sebab pemerintah sendiri masih memiliki kekhawatiran terutama soal legalitas. Mereka selalu di sudutkan karena memang tidak diperkenankan oleh agama, budaya maupun negara.
LGBT hanya menginginkan agar mereka tidak terdiskriminasi, penolakan, kekerasan, razia dan persekusi. Akan tetapi fakta di lapangan komunitas ini memang selalu inferior di mata sosial, hukum, budaya dan agama. Jika demikian lalu siapa yang membela kebenaran mereka? Atau jangan-jangan mereka tak memiliki kebenaran?
*Tulisan ini pernah dimuat pada Buletin Ngaji Sing Kenceng edisi perdana 12/2/20.
Komentar
Posting Komentar