Langsung ke konten utama

Peperangan Doa

Woks

Saat seseorang berdoa untuk memantapkan hatinya dengan yang dicintainya saat itu pula ia melawan doa orang tua yang sejatinya tidak meridhoi hubunganya. Tidak hanya itu doanya juga melawan doa dari seseorang yang ternyata juga menyukainya sejak lama. Dari rangkaian doa itu ia paham tentang arti sebuah cara untuk meruntuhkan sebuah harapan. Doa-doa itu menjadi senjata utama saat mereka berjauhan. Lalu doa siapakah yang diperkenankan oleh Tuhan. Seperti halnya pengorbanan Habil dan Qabil.

Doa-doa itu menyelinap ke daftar saku Tuhan. Satu sama lain saling memperebutkan. Percis seperti perang dingin yang melumatkan. Anak muda itu tak kuasa menahan panasnya zaman. Sedangkan usahnya masih belum dikatakan maksimal. Hubungan jarak jauh memang hanya bisa menyaratkan usaha itu. Ya, berdoa merupakan langkah kecil yang telah ia bangun sejak pertama kali membangun hubungan dengan gadis pujaanya. Namun dalam perjalanan itu ia mengabarkan pada kekasihnya itu bahwa ibunya selalu berharap agar mendapatkan mantu yang tidak jauh dengan dirinya. Doa merupakan salah satu bentuk riil yang kata anaknya sang ibu selalu panjatkan ditiap malam.

Belum lagi bayang-bayang gadis lain juga selalu mengiringi langkah kecil lelaki itu. Doa-doanya begitu terasa terkirim melalui malam dan kesunyian. Doa itu menembus batas nurani dan menerobos rasionalitas. Rasa was-was dan kekhawatiran selalu membayangi jalan hidupnya. Ia seperti kehilangan harapan, ia seperti telah putus dari rahmat Tuhan. Apalagi saat orang lain yang lebih mapan datang menghampiri, berjajar rapi di depan meja milik ayahnya. 

Inilah dimensi misteri jodoh di tangan siapa. Sedangkan ia tahu bahwa "addu'a muhul ibadah" doa adalah intinya ibadah. Hal-hal yang berbau misteri pun bisa diruntuhkan dengan doa. Seperti sejak dulu selain pedang, doa juga salah satu faktor kemenangan kaum muslimin dalam peperangan melawan musuh. Berdoalah niscaya akan Aku kabulkan, begitulah firman Tuhan.

Peperangan doa bahkan lebih menyakitkan dari pada adu fisik dan senjata. Ia seperti mantra yang dikomat-kamitkan para dukun. Lalu energinya menyelinap dan terasa. Tapi kadang kala orang-orang masih tak percaya dengan doa tahlil atau kirim doa pada ahli kubur yang katanya tak akan sampai. Padahal prinsipnya doa seperti perangkat teknologi yang memanfaatkan gelombang elektromagnetik. Jika penuh khusyu dan yakin pasti doa itu akan sampai. Bagaimana koneksi dari gelombang itu yang berjalan pada sebuah frekuensi. Sekarang berdoalah yang baik, niscaya Tuhan akan memperkenankan hajatmu. Jika pun doa orang tua itu terkabul oleh Allah, maka si laki-laki itu hanya bisa pasrah. Semoga ia bisa lari dari takdir ke takdir yang lain. Apalah daya semua sudah diatur sekehendakNya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde