Langsung ke konten utama

Kamar dan Banjir Jakarta

            (Sumber gambar Canva.com)
Woks

Membincang tentang Jakarta tentu akan menarik. Sepertinya tak cukup satu gelas kopi untuk menemani diskusi seputar ibukota negara itu. Jakarta memang kota yang selalu hangat untuk diperbincangkan, bahkan sampai menjadi panas khususnya saat perebutan kursi politik berlangsung. Entah karena sebagai ibukota negara, atau karena ia selalu didatangi jutaan orang untuk bekerja. Ditambah lagi jutaan pasang mata berkunjung ke kota kebudayaan itu. Atau karena aseng dan asing sering memantau keadaan perekonomian Jakarta.

Sejak pertama dilahirkan sekitar 492 tahun lalu, Jakarta memang sudah terkenal. Ia menjadi titik pusat pemerintahan baik di era pemerintahan Hindia Belanda maupun Jepang. Selain itu Jakarta juga merupakan tempat strategis untuk memutar roda perekonomian, menancapkan cita-cita pemerintahan dan tempat tinggal bagi jutaan orang. Sejak dulu hingga kini kota yang luasnya hanya sekitar 661,52 km persegi  itu ternyata mampu menampung hampir 28 juta lebih manusia dari berbagai daerah.

Jakarta dulu, kini dan nanti tentu berbeda. Jika Djakarta Tempoe Doloe begitu nampak gagah dengan Batavia dan pelabuhan Sunda Kelapanya yang mashur itu. Tapi Jakarta hari ini begitu nampak berbeda. Bahkan banyak orang memprediksi Jakarta esok hari akan sekedar menyisakan nama. Ia akan tenggelam bersama segala kenangannya. Jakarta yang kita kenal di masa depan adalah air. Ya, air dan air mata sebagai sebuah kota dengan segala keniscayaanya. Kota sejarah itu akan menjadi sejarah panjang dengan nama yang tersimpan di dalam museum.

Tak hanya banjir, Jakarta juga merupakan kamar tempat semua orang singgah di sana. Entah sebagai pekerja, pelancong, gelandangan atau pribumi asli. Semua elemen memang hampir ada di Jakarta. Arus migrasi bagi para pencari kerja selalu memadati bumi Jakarta. Belum lagi kasus para pencari suaka dari para imigran gelap masih saja terjadi. Jakarta memang sudah lelah menopang beban sejarah dan segala masalah. Belum lagi masalah perekonomian yang kian hari tidak ramah kepada rakyat kecil, Jakarta juga sudah hampir dipastikan kehilangan lahan hijaunya. Selain pemukiman padat penduduk, pabrik-pabrik dan gedung pencakar langit menghiasi kota ini. Pantas saja dulu musisi Iwan Fals pernah resah dengan kampung yang mengalami penggusuran dan hilangnya memori kanak-kanak di Pondok Gede. Lalu Bung Iwan menyalurkan keresahannya melalui lagu Ujung Aspal Pondok Gede.

Tidak hanya soal perekonomian, lahan, demografi, Jakarta juga mengalami invasi besar-besaran soal ideologi, kebudayaan western, hingga politik. Kota ini sudah dipenuhi sesak oleh orang-orang dari berbagai etnis dan agama, belum lagi segala macam paham sudah memperkeruh kota ini. Budaya Pop, western dan milenial lainya tentu sudah merebak di sini. Lebih parah lagi fanatisme politik mengakar kuat, bahkan berlabel agama. Keadaan inilah yang membuat miris. Ibarat kamar, Jakarta kini sudah penuh sesak oleh apapun. Kota ini begitu kompleks, maka jangan heran karena alasan keamanan dan kenyamanan, Ibu Kota Negara berpotensi dipindahkan.

Selain permasalahan yang begitu banyak, ternyata Jakarta juga mengalami derita kerinduan. Di mana Senayan kini mengalami kesepian. Sepi karena salah satu suara rakyat telah tiada, suara nurani telah pergi dan memang mereka telah lama dijagal. Kerinduan itu salah satunya saat Jakarta banjir. Warganya mencoba merindu ketika Gubernur Ahok memimpin. Katanya ia sigap, tegas, dan merakyat, walau beda keyakinan. Saat Natuna kemasukan kapal dari Cina orang juga merindu, sekarang tak ada bu Susi. Sosok perempuan tangguh, yang tak pandang bulu. Tenggelamkan. Saat demokrasi sudah jauh panggang dari api, orang-orang juga menaruh rindu, saat Presiden Gus Dur memimpin negeri ini. Betapa tidak, demokrasi benar-benar ia wujudkan dengan internalisasi pluralisme, humanisme, dan kebhinekaan. Memang sifat dasar manusia, selalu rindu saat-saat waktu tidak tepat. Kemarin kemana saja?

Sekarang jutaan manusia baik warga asli Jakarta atau orang lain bisa menyaksikan kepemimpinan gubernur yang mereka bangga-banggakan karena sesama agama. Nyatanya kinerja banyak omong lebih mendominasi daripada budaya kerjanya. Jika demikian lalu kemana orang-orang yang dulu pernah membanjiri Monas itu? Mungkin kini mereka sedang membuka kamar pikiranya untuk lebih jernih memandang sesuatu bukan karena emosi atau pikiraan dangkal dan sempit lainya. Jakarta dengan segudang permasalahan yang komplek itu sesungguhnya bukan diserahkan kepada segelintir orang saja, atau bahkan satu pemimpin yang dielu-elukan. Jakarta hanya perlu sentuhan kerja bersama dengan cinta dan rasa. Di mana budaya daerahnya dikembangkan lagi, bangga dengan identitas lokalnya, dan tidak diperbudak kecanggihan zaman.  

Gubernur silih berganti, akan tetapi problematika yang paling komplek dari Jakarta adalah Banjir. Setiap periode mereka selalu disuguhi masalah itu. Jika demikian lalu apa yang dibutuhkan kota ini? Mungkin saja Jakarta butuh kamar untuk menidurkan banjir, lalu menguncinya rapat-rapat agar jangan keluar. Tapi nyatanya semua itu hanya khayalan. Banjir tetaplah banjir ia seperti sudah melekat pada jatidiri kota Jakarta. Tanpa banjir setidaknya lagu Kompor Mleduk milik Benyamin Sueb itu tak akan pernah terlahir. Sekarang kita akan melihat Jakarta dari bilik jendela kamar, menembus masa depan, seperti apa Jakarta nanti?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde