Langsung ke konten utama

Indahnya Keberagamaan

Woks

Mentari mulai tenggelam dan senjapun mulai hilang. Malam pun datang disambut puji-pujian di setiap surau. Adzan magrib pun berkumandang. Salma dan Salim bergegas pergi ke surau untuk shalat dan mengaji.

Hari ini pengajian pasti ramai, karena surau melaksanakan acara peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. Acaranya semarak karena ada banyak perlombaan, makanan dan ceramah keagaaman. Salma, Salim dan temannya tentu menyambutnya dengan gembira.

Selesai shalat hingga mengaji, Salma dan Salim mengikuti lomba. Perlombaan yang dipertandingkan diantaranya, lomba adzan, lomba pidato, lomba peragaan busana muslim dan lomba menghias nasi tumpeng. Salma mengikuti lomba busana muslim sedangkan Salim mengikuti lomba adzan.

Semua acarapun selesai, Salma dan Salim tidak sabar menunggu pengumuman pemenang. Tapi ternyata dewan juri memberi tahu bahwa pengumumannya dilakukan besok siang.

Pagi hari mereka berdua bersemangat untuk berangkat sekolah. Di sekolah mereka diajari banyak hal oleh bapak ibu guru. Dari mulai menghitung, menggambar, bernyanyi hingga mendongeng.

Salma lebih menyukai bernyanyi, sedangkan Salim menyukai menggambar keindahan alam. Tapi ternyata mereka juga senang mendengarkan cerita tentang kebersamaan dan petualangan.

Siang akhirnya tiba. Salma dan Saling segera pulang dari sekolah. Setelah shalat dzuhur dan makan siang mereka segera berangkat ke surau, karena tak sabar menunggu pengumuman lomba.

Mereka berangkat bersama kakek dengan sepeda tuanya. Bunyi lonceng di sepeda kakek selalu mereka mainkan, suaranya nyaring kriing, kriing, kriing. Hingga akhirnya menyapa seorang teman di jalan.

"Hai Noel kamu ada di sini, pasti sedang liburan ya?", tanya Salma.
"Oh iya benar sekali kamu. Aku sedang berkunjung ke rumah nenek, kebetulan kita kan bertetangga", jawab Noel.

"Ohh iya kami duluan ya, mau ke surau ada acara pembagian hadiah lomba", kata Salma. "Oh iya silahkan, semoga berjumpa lagi ya", kata Noel.

Mereka pun berpisah. Salma dan Salim pun sampai di surau, beberapa teman sudah berkumpul di sana. Kakek pun bergabung dengan beberapa orang tua dan panitia.

Acara yang ditunggu-tunggu akhirnya dimulai. lagu-lagu shalawatan menggema dengan merdu mengawali acara pembagian hadiah itu. Anak-anak sudah riuh dengan riang dan gembira.

Acara pengumaman lomba itu dimulai.  Dan hujan pun turun dengan derasnya. Beberapa anak mendapatkan hadiah satu persatu. Salma mendapat juara 2 untuk lomba peragaan busana muslim, sedangkan Salim mendapat juara 1 lomba adzan.

Setelah semua mendapat hadiah lalu mereka makan bersama hidangan yang telah tersedia. Mereka belum berani pulang sebab hujan masih deras.

Di samping jendela surau terlihat seorang anak mengintip atau sedang berteduh dari hujan. Salma dan Salim serta beberapa temanya mencoba menghampirinya. Ternyata kakek pun melihatnya.

Siapa itu di sana, tanya kakek? Ooh itu Noel kek, jawab Salma. Iya kek, tapi dia bukan beragama Islam, kata Salim.
Suruh saja ia masuk, ajak dia makan bersama, syukur-syukur ajak sekalian bermain sebab di luar masih hujan deras, ajak kakek.

"Oalahh Emanuel yang tadi kita papasan di jalan ya?, tak apa ke sini, mari makan bersama sebab diluar masih hujan. Nanti main ya dengan Salma dan Salim", kata kakek.

Noel pun bergembira, mereka bermain bersama dalam perbedaan, tapi saling menghormati.

Noel walau kita berbeda tapi kita tetap saudara, kata kakek. Kamu boleh bermain dengan temanmu di sini. Kakek juga sering berkunjung ke rumahmu.

Kata kakek sejak dulu desa ini memang terkenal dengan keberagamaannya. Di mana orang-orang hidup damai dan saling menghormati. Beda keyakinan tapi tetap rukun.

Hujan pun reda. Mereka pun akhirnya pulang bersama-sama. Sambil membawa hadiah dan juga cerita pengalaman yang menarik. Salma dan Salim semakin semangat untuk terus belajar menghargai dan menghormati.

Kata kakek orang yang baik adalah mereka yang bermanfaat untuk semua orang. Termasuk dalam perbedaan agama.

"Saling memberi hadiahlah kamu, niscaya kamu akan saling mencintai" (HR. Bukhari)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde