Langsung ke konten utama

Menakar Zaman dengan Tafsir Abu Bakar

             (Sumber gambar Canva.com)
Woks

Sejak pertama diciptakan usia alam raya termasuk bumi hingga kini sudah tak terhingga. Maka pantas jika para ahli mengatakan bahwa usia dunia ini sudah tua. Bayangkan saja bumi ini telah mengandung beban dari Nabi Adam hingga umat akhir Nabi Muhammad saw, tentu jumlahnya tidak sedikit. Proses perjalanan dunia hingga kini pun tentunya mengalami berbagai macam perubahan, sejak zaman kuno, evolusi hingga revolusi modern. Sejak ditetapkannya manusia sebagai khalifah fil ardy tentu lika-liku nya begitu panjang dan pelik dalam sejarah.

Sejarah dunia atau Islam pernah mencatat bahwa di muka bumi ini telah melahirkan berbagai macam suku bangsa, termasuk umat yang binasa dan berjaya. Salah satunya umat Nabi Nuh yang mayoritas binasa pada tragedi air bah, kaum Aad atau kaumnya Nabi Hud yang diluluh lantahkan oleh angin ribut, termasuk kaum Shodom yang menurut arkeolog jasadnya berada di dasar laut mati serta banyak lagi contoh lainya. Termasuk umat yang dimuliakan oleh Allah seperti kaum Nabi Nuh yang selamat dari tragedi air bah, kaum Nabi Musa yang selamat dari kejaran Fir'aun, kalangan al Hawariyyun atau pengikut Nabi Isa dan Suku Quraisy yang mulia karena kelahiran manusia mulia, Nabi Muhammad saw.

Dalam catatan sejarah, dunia tidak diam. Dunia terus berputar secara dinamis. Bahkan eksistensi dunia diperlihatkan melalui kenampakan alam. Alam telah lama menjalin komunikasi dengan manusia. Akan tetapi dalam masa yang panjang komunikasi itu berujung pelik. Di mana manusia sebagai saudara muda justru lebih dominan untuk mendominasi. Ia bahkan tak sungkan mengeksploitasi secara membabi buta. Sehingga eksistensi alam sebagai ayat Tuhan kini justru malah dikesampingkan perananya. Ia hanya sekedar objek untuk meraih profit sebesar-besarnya.

Tidak hanya perkara alam dan lingkungannya, manusia juga sering bergesekan dengan sesamanya. Salah satunya pernah direkam dalam sejarah dunia di mana yang kuat selalu menindas yang lemah. Salah satu contohnya bangsa Mongol yang dipimpin dinasti Khan (Jengis khan, Hulagu khan, dll) yang telah bar-bar hampir ke setiap negara jajahanya. Belum lagi praktek kolonialisme terus saja bergulir sebelum kata merdeka diraih. Peperangan di mana-mana dan menimbulkan banyak korban. Dari rangkaian peristiwa itu merupakan hal-hal yang dulu sempat dikhawatirkan para malaikat. Dulu para malaikat memang tidak yakin bahwa manusia akan mampu memimpin titah Tuhan untuk menjadi khalifah di muka bumi.

Darisanalah sering sekali jika setiap bencana yang ada di muka bumi ini pasti berkaitan dengan sikap dan tingkah laku manusia. Salah satunya diabadikan oleh Allah dalam firmanya surah Ar Rum ayat 41: "Telah nampak (kerusakan) di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".

Sejak lama dunia memang telah rusak jadi semakin kemari tak aneh jika perkembangan dunia semakin kacau. Tentu ayat tersebut multitafsir, tergantung siapa yang memaknai. Banyak ulama melalui kitab tafsirnya telah mengartikan ayat tersebut termasuk sahabat Abu Bakar. Bagi ayah dari Siti Aisyah itu ayat tersebut memiliki arti tersendiri. Ayat dengan arti di atas dalam penafsiran Abu Bakar as Shidiq secara ringkasnya yaitu daratan berarti lisan sedangkan lautan berarti hati. 

Jika kita tau memang lisanlah sumber malapetaka. Lisan yang tidak bisa dikondisikan bisa membuat tatanan menjadi chaos. Lihat saja demo di mana-mana atau seruan untuk memperdaya dan lainya bisa sangat mudah karena lisan. Satu kata yang terucap dari lisan yang busuk bisa mencemari lingkungan sekitarnya. Fitnah, adu domba, bergosip, berita bohong dan lainya merupakan bentuk kejahan lisan. Selanjutnya adalah hati. Ia adalah tempat bersemayamnya segala nurani. Bahasa psikoanalisa mengenalnya dengan superego. Ia merupakan wadah dari segala macam keputusan hasil penerimaan dari pikiran. Jika hatinya keruh maka kehidupanya pun tak jauh berbeda.

Dari tafsiran Abu Bakar itu kita bisa menakar bagaimana zaman ke depan. Walau kiamat tiada yang tahu kecuali Allah setidaknya kita melihat dari tanda-tanda yang ada. Baik arti kerusakan itu merujuk pada alam atau manusia itu sendiri yang jelas kerusakan merupakan awal sekaligus akhir dari segalanya. Kita hanya bisa melihat sejauhmana hidup yang seharusnya dimaknai dengan kebermanfaatan. Pandai menjaga lisan lebih baik atau diam. Lebih lagi menjaga hati sebagai sebuah jalan menuju Tuhanmu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde