Langsung ke konten utama

Senarai Esai-Esai : Catatan Perjalanan KKN Revolusi Mental 2018 IAIN Tulungagung di Bakung Blitar

Woks

Dalam tridarma perguruan tinggi pasti kita paham dengan istilah pendidikan, pengembangan, dan pengabdian kepada masyarakat. Darisanalah poin ketiga selalu dilakukan sebagai program wajib khususnya bagi mahasiswa tingkat akhir sebelum mereka melaksanakan tugas magang, PPL, hingga skripsi. Tugas tersebut biasa kita kenal dengan KKN atau akronim dari kuliah kerja nyata.

Kali ini KKN dilaksanakan di dua tempat yaitu kecamatan Wonotirto dan kecamatan Bakung kabupaten Blitar Jawa Timur. Sekitar seribu lebih mahasiswa dilepas untuk melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat tersebut. Pelepasan dilaksanakan di kampus IAIN Tulungagung oleh Mentri Agama Bapak Lukman Hakim Saifuddin. Mereka melaksanakan tugas tersebut kisaran waktu dari 20 Juli hingga 27 Agustus 2018. Di sana mereka akan membawa tugas sesuai dengan tema KKN yang digulirkan kampus. Kebetulan tahun tersebut membawa tema besar KKN Revolusi Mental yang langsung di bawah pengawasan kementerian pendidikan, kementrian agama dan MenKo PMK. Dengan membawa visi berupa gotong royong, integritas, dan etos kerja.

Buku "Senarai Esai-Esai" tersebut merupakan inisiasi dari LP2M IAIN Tulungagung yang berisi catatan ringkas seputar perjalanan selama KKN tersebut. Sebenarnya buku tersebut terdiri dari dua jilid besar yang terdiri dari masing-masing kecamatan, akan tetapi dalam tulisan ini hanya mewakili kecamatan Bakung. Isi buku tersebut tentu sangat menarik dibaca. Karena di sana kita akan temui berbagai pernak-pernik kehidupan ala pedesaan yang kebetulan kontur geografis nya terdiri dari pegunungan dan pantai. Termasuk juga cerita dari mahasiswa KKN tamu dadi STAIN Bengkalis Riau.

Penulis dalam buku tersebut menarasikan segala hal yang mereka temui selama KKN tersebut. Tentu disesuaikan dengan keadaan desanya masing-masing. Penulisnya hanya perwakilan dari desa yang ada di kecamatan Bakung tersebut. Mereka menuliskan bagaimana keadaan masyarakat yang egaliter dan tentunya guyub rukun. Masyarakat begitu ramah dan pastinya sangat menyambut hangat dengan kedatangan para mahasiswa.

Ada juga yang menuliskan tentang keseruan di mana mereka bisa menikmati alam yang masih alami seperti goa Sumurup, goa Umbultuk, pantai Umbulwaru dan beberapa pantai seperti pantai Pangi dan pantai Paser. Serta banyak lagi lainya termasuk pemandian, hutan dan sungai. Selain keadaan alam ada juga yang menuliskan tentang keseruanua belajar bahasa Jawa, ungah-ungguh hingga belajar mengenal kebudayaan setempat. Seperti budaya metri, budaya kenduren sampai belajar kesenian jaranan, barongan sampai nabuh gamelan.

Secara geografis, sosial dan budaya masyarakat desa memang merupakan paket lengkap. Sehingga para mahasiswa tidak sulit untuk menuliskan pengalamanya tersebut. Bagi mahasiswa lokal mungkin terkesan biasa tapi bagi mahasiswa luar daerah hal yang mereka temui adalah sesuatu yang menarik. Sehingga perjalanan KKN yang singkat selama 40 hari itu menjadi pelajaran hidup yang berharga. Apalagi jika kita tau secara historis bahwa kecamatan Bakung dulunya merupakan basis pembuangan korban tragedi G30S yang disinyalir dilakukan oleh oknum PKI.

Selain menceritakan seputar kehidupan, mereka juga menyaksikan bagaimana warga desa begitu khusyuk dalam melaksanakan ritualitas keagamaan. Di sana mereka begitu menghormati satu dengan lainya, apalagi pada saat itu momenya adalah hari raya Idul Adha. Termasuk juga keseruan lainya yang mereka tuliskan seperti terjadi tragedi mencari air ke mbelik (sumur dadi mata air) yang jaraknya jauh, rumah angker, kesalah pahaman antar posko, hingga kisah cinta lokasi. Bahkan tak jarang ada yang KKN selamanya dengan menikahi salah satu warga di sana, orang jawa mengistilahkanya dengan "kecanthol".

Masih banyak kisah-kisah dalam buku tersebut. Saya tentu menyarankan agar semua orang khususnya penulis untuk membaca buku tersebut selain menggali kearifan lokalnya kita juga bisa bernostalgia dengan suasana yang begitu dirindukan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde