Woks
Kita sebagai masyarakat akademis mungkin sudah muak dengan tayangan televisi yang tidak mendidik. Kita terlalu bosan dengan siaran media yang terlalu monoton. Belum lagi media pertelevisian kita ditunggangi intrik dan politik. Sehingga iklim jagat hiburan selalu saja termuat misi terselubung. Alih-alih mencerdaskan sesungguhnya malah menenggelamkan. Ini adalah bahaya laten yang kita terima, termasuk bias akan tujuan bahwa televisi adalah media informasi yang akurat.
Paling kita ingat dari dunia jurnalistik TV ialah saat perhelatan Pilpres April tahun 2019 lalu. Di mana jagat layar kaca selalu dipenuhi perseteruan antar kubu. Belum lagi jagat maya yang keruh dengan berita hoax tumbuh subur dikonsumsi masyarakat kita. Arus informasi tak bisa dibendung, semua mengalir deras dan semua itu bisa diakses dengan mudah pada genggaman.
TV merupakan salah satu media informasi yang berpengaruh sekaligus mempengaruhi. Menurut data KPAI bahwa kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak akibat dari menonton tayangan di televisi sudah masuk pada taraf yang mengkhawatirkan. Ditambah lagi kehadiran media sosial dan YouTube makin mewarnai permasalah baru. Rerata kasus kekerasan terjadi karena anak-anak mudah meniru adegan yang diperankan dalam TV tersebut. Sehingga darisanalah peran orang tua sangat penting sekali dalam pendampingan terhadap anak-anak.
Walau begitu kabar baiknya kita sekarang dapati banyak media mirip TV yang jangankaunya lebih luas. Ia bisa disaksikan melalui channel di internet, akan tetapi tidak memiliki frekuensi zona seperti radio dan TV pada umunya. Bahkan live streaming bisa dilakukan di mana saja asal memiliki paketan (data). Kehadiran TV ini tentu lebih mewarnai dan lebih heterogen konten-kontennya. Setidaknya dari adanya TV YouTube itu kita bisa mempengaruhi banyak orang untuk lebih kreatif memanfaatkan media. Di sana kita juga bisa menitipkan konten acara yang cerdas dan tak harus mahal.
Rekayasa TV harus mulai dilakukan dengan tujuan menjadi media pilihan saat konsumen merasa jenuh dengan acara TV swasta nasional yang monoton. Keruhnya dunia TV kita seharusnya segera disehatkan dengan acara yang mengedukasi. Walau kita sadar bahwa TV lebih banyak menyediakan porsi hiburan daripada nilai pendidikanya. TV hanya berfikir bagaimana rating dari acara mereka bisa naik dan mampu mendulang piala saat nominasi penghargaan berlangsung. Jika pertelevisian kita telah sadar untuk ikut mencerdaskan bangsa tentu kemajuan bisa segera kita raih. Tapi realitasnya tak mudah, pasti semua hal itu belum tentu juga diinginkan masyarakat. Karena lagi-lagi masyarakat kita masih setia dengan tontonan bukan tuntunan.
Komentar
Posting Komentar